Jumlah pengunjung obyek-objek wisata di Kepulauan Seribu melonjak lima tahun terakhir. Badan Pusat Statistik mencatat, jumlah wisatawan domestik meningkat dari 226.234 orang tahun 2010 jadi 1.482 juta orang tahun 2013. Positif dari sisi pariwisata, juga pendapatan warga. Namun, peningkatan itu sejalan dengan laju kerusakan lingkungan.
Selain wisatawan lokal, warga asing yang berkunjung melonjak dari 4.786 orang tahun 2010 menjadi 15.521 orang tahun 2013. Situasi itu mendorong tumbuhnya penginapan dan tempat makan baru. Jumlah homestay dari 92 unit tahun 2010 menjadi 278 unit tahun 2012, rumah makan bertambah dari 47 unit tahun 2010 menjadi 56 unit tahun 2012.
Geliat pariwisata sangat terasa di pesisir barat Pulau Pramuka. Tempat penginapan berderet, sebagian berusia 2-3 tahun, beberapa di antaranya dalam proses pembangunan. Warung makan, kios suvenir, serta kios penyewaan snorkel dan perlengkapan menyelam berdiri di beberapa sudut pulau seluas 16 hektar itu. Ada penyewaan sepeda, sepeda motor, dan perahu kayak untuk keliling pulau.
Warga mengikuti ritme itu. Mahdum (60), warga Pulau Pramuka yang bertahun-tahun berprofesi sebagai nelayan, “banting stir” menjadi jasa penyedia snorkeling. Selain membuka penyewaan peralatan menyelam, dia juga mengantar jemput pengunjung ke lokasi penyelaman.
Manap (56), nelayan Pulau Pramuka lain, memilih menjual perahunya untuk membangun rumah dan penginapan. Hasil tangkapan nelayan harus turun di tengah situasi iklim yang makin sulit diprediksi. Sementara kapal, alat tangkap, dan sarana pendukung tak banyak berubah.
!break!
Lingkungan rusak
Wisata bahari yang berulang dipromosikan memang membuat Kepulauan Seribu lebih semarak. Usaha pendukung berkembang sejalan dengan peningkatan jumlah kunjungan. Namun, kondisi lingkungan hidup berjalan surut, lebih buruk dibandingkan sebelumnya.
Menurut Kepala Seksi Pengelolaan Wilayah III Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKS) Untung Suripto, pada survei awal 2000, kondisi titik-titik penyelaman di sekitar Pulau Pramuka umumnya baik atau dengan tutupan karang lebih dari 50 persen. Namun, pada survei tahun 2014, 2-3 titik penyelaman dari 10 titik penyelaman kondisinya buruk atau tutupan karang kurang dari 25 persen.
“Faktanya, banyak penyelam tak cukup bagus, kadang sudah menguasai tetapi menyelamnya tak cukup ramah terhadap lingkungan. Pemandunya pun kadang tidak cukup peduli untuk sekadar mengingatkan tamunya,” kata Untung.
Kerusakan juga terjadi di titik-titik snorkeling. Pengunjung kadang tidak sadar telah menginjak atau mematahkan karang. Sebagian pengunjung membawa biota, seperti bintang laut.
Menurut Untung, idealnya ada pengaturan zona berikut pengawasan ketat, lokasi mana yang diizinkan dan mana yang terlarang. Namun, tumpang tindih kepentingan membuat pengawasan tak optimal. “Selain TNKS yang berkepentingan pada usaha konservasi, ada komponen lain yang berkepentingan terhadap lingkungan Kepulauan Seribu, yakni dinas pariwisata, perikanan dan kelautan, serta masyarakat,” ujarnya.
TNKS mempunyai sumber daya alam yang khas, terutama bawah laut dan ekosistem karang yang unik. Perairan Kepulauan Seribu memiliki terumbu karang tepian (fringing reef), pada kedalaman 1-20 meter, dengan jumlah biota yang hidup seperti ikan khas, ikan konsumsi, moluska, penyu, mangrove, dan padang lamun.