Tanah di wilayah kaki Gunung Tompotika itu berwarna merah, nyaris tanpa celah hingga ke lahan perkebunan warga. Dengan kondisi seperti itu, tanaman palawija susah tumbuh. Alhasil, warga Desa Sampaka Dua Kecamatan Bualemo, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah yang tinggal di situ hanya bisa menggantungkan hidup pada hasil tanaman keras seperti cokelat dan jambu mete.
Salah satu warga Ridlof Radjah (48) menjelaskan, kondisi itu membuat mereka harus pintar menyiasati kebutuhan hidup. "Jambu mete hanya berbuah setahun sekali, itupun kalau tidak banyak curah hujan. Jika saat berbuah hujan datang, sudah bisa dipastikan kami tidak bisa panen, karena buahnya membusuk. Itu karena kondisi tanah di sini, sehingga kami menyebut wilayah ini dengan sebutan Tanah Merah," kata Ridlof.
Ridlof dan keluarganya adalah salah satu peserta transmigrasi asal Nusa Tenggara dan Bali yang ditempatkan di daerah kaki Gunung Tompotika itu.
Kondisi tanah merah yang tidak subur dan mengandung nikel itu memaksa mereka harus mencari alternatif lahan ke dalam hutan. Padahal, hutan di sekitar Tanah Merah memegang peranan penting bagi kelangsungan hidup spesies endemik Sulawesi yang hampir punah, maleo.
"Hutan di sini menjadi salah satu koridor maleo sebelum burung itu terbang menuju tempat penelurannya di pasir Pantai Libuun, Desa Taima," kata Direktur Alliance for Tompotika Conservation (AlTo) Marcy Summers, Selasa (3/3).
Maleo adalah burung unik yang mempunyai kebiasaan bertelur yang tidak lazim sebagaimana burung lainnya. Maleo akan mencari sumber panas alami yang tepat untuk meletakkan telurnya. Selain di tanah yang punya sumber air panas, maleo hanya akan meletakkan telurnya di pasir pantai dengan suhu yang tepat, seperti di Pasir Libuun yang berjarak kurang lebih 20 kilometer dari Tanah Merah.
"Burung yang dilindungi itu akan terbang berpuluh-puluh kilometer hanya untuk meletakkan telurnya. Setelah itu pasangan maleo akan kembali ke hutan melalui koridornya," kata Koordinator Program Konservasi AlTo Noval Suling.
AlTo yang adalah lembaga nirlaba yang mengupayakan pelestarian maleo dan penyu di Tompotika, melakukan survei habitat Maleo di Tanah Merah pada tahun 2005, sebelum memulai program monitoring dan proteksi tempat peneluran maleo.
Kisah Athena
"Waktu itu tim kami datang ke Tanah Merah untuk survei. Saat datang di Sampaka, secara kebetulan ada warga yang berhasil menjerat seekor maleo. Burung itu dibawanya pulang dan diikat di kakinya. Dia tidak tahu bahwa itu maleo yang dilindungi dan terancam punah," kata Marcy.
Oleh Marcy, maleo itu kemudian dibelinya untuk dilepas kembali ke alam. Namun niatnya harus diurungkan karena burung itu terlihat lemah akibat kakinya yang cedera. Marcy lalu berinisiatif membawa maleo yang sakit itu ke penginapannya di Luwuk.
Dia lalu mencoba merawatnya. "Selama perawatan maleo itu terlihat sangat jinak, dia bahkan sering tidur di pangkuan saya, saat saya sedang membaca atau mengetik pekerjaan saya. Karena sudah terasa dekat, saya memberi maleo itu nama Athena," kata Marcy.
Setelah merasa cukup sehat, Marcy bersama timnya lalu membawa kembali maleo ke hutan di mana dia dijerat. Maleo itu akan dilepas di sekitar hutan Tanah Merah. Mereka melakukan pendakian ke Gunung Tompotika. Namun sekitar sejam mendaki, Marcy melihat maleo yang digendongnya malah terlihat semakin lemah.