Kisah Penyelamatan Maleo di Rimba Wallacea

By , Selasa, 3 Maret 2015 | 10:30 WIB

"Saya lalu meminta anggota tim lainnya untuk meneruskan perjalanan, dan saya memilih istirahat di tepi sungai kedua. Saya berbaring di tanah dan maleo itu ikut berbaring di samping saya, dia terlihat sangat lemah," cerita Marcy.

Tak berselang berapa lama, maleo yang semestinya dilepasliarkan itu malah mati. Marcy sangat terpukul dan bersedih. Anggota tim lainnya yang kembali ke lokasi di mana Marcy istirahat ikut pula bersedih.

Mereka lalu menguburkan tubuh Athena di situ dan menandai kuburnya dengan sebuah batu besar. "Tempat ini kemudian diberi nama oleh warga Tanah Merah sebagai Athena untuk mengenang kisah maleo itu. Setiap kali saya datang ke Banggai, saya harus menyempatkan diri mendaki ke Athena," tegas Marcy yang ikut serta ke Athena pada pekan lalu.

Kisah Athena kemudian menjadi motivasi besar bagi pekerja AlTo selanjutnya. Lewat berbagai program konservasi, kini mereka telah mampu memproteksi lokasi peneluran maleo di Libuun, Desa Taima.

Melalui berbagai pendekatan, mereka juga mampu menyadarkan masyarakat betapa pentingnya menjaga kekayaan keanekaragaman hayati yang dimiliki Tompotika.

Festival untuk maleo dan penyu

Tahun ini Tim AlTO kembali menyambangi Tanah Merah dalam road show Festival International Maleo dan Penyu Tompotika yang dihelat dari tanggal 21 Februari hingga 3 Maret 2015. Rumah Ridlof menjadi salah satu base camp persiapan festival di Kecamatan Bualemo.

"Saya sudah merasa menjadi bagian dari mereka dan banyak tahu tentang usaha konservasi. Dalam setiap kesempatan saya juga mengajak warga desa untuk terus menjaga hutan walau itu memang tidak gampang," kata Ridlof yang juga guru sekolah dasar ini.

Ridlof tak hanya mengingatkan orang dewasa, pengetahuan yang didapatnya dari para pekerja konservasi itu juga disampaikan kepada murid-muridnya di SD Inpres Trans Sampaka Dua. Hasilnya, anak-anak itu menjadi paham apa itu maleo.

Dalam Festival yang digelar oleh AlTo itu, salah satu kegiatannya adalah lomba menulis cerpen bertema Maleo yang diikuti ratusan anak sekolah di Banggai. Ridlof bersama para guru lainnya patut berbangga, sebab dari 25 siswa mereka, 17 siswa di antaranya mampu menulis cerpen dengan baik.

"Tiga dari mereka masuk final dan mendapat hadiah dari AlTo. Kami semua warga desa bangga, ini karena kisah Athena yang menyentuh itu. Kini tugas kami selanjutnya adalah meyakinkan bahwa anak-anak ini kelak mampu menjaga lingkungan mereka terutama hutan tempat maleo hidup, agar burung unik itu terus ada," tegas Ridlof.

Selain lomba cerpen dalam festival yang selalu menyedot perhatian warga itu, ikut juga dilombakan kerajinan dari bahan daur ulang. Ada pula stan mewarnai, lukisan wajah, pameran foto alam liar Sulawesi, permainan musik dari barang bekas, workshop lentera dan jugling serta pentas drama.

"Semua kegiatan itu bertema maleo dan penyu sebagai upaya menyampaikan pesan konservasi," kata Manager Awarness AlTo, Shera.