Kisah Penyelamatan Maleo di Rimba Wallacea

By , Selasa, 3 Maret 2015 | 10:30 WIB

Tanah di wilayah kaki Gunung Tompotika itu berwarna merah, nyaris tanpa celah hingga ke lahan perkebunan warga. Dengan kondisi seperti itu, tanaman palawija susah tumbuh. Alhasil, warga Desa Sampaka Dua Kecamatan Bualemo, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah yang tinggal di situ hanya bisa menggantungkan hidup pada hasil tanaman keras seperti cokelat dan jambu mete.

Salah satu warga Ridlof Radjah (48) menjelaskan, kondisi itu membuat mereka harus pintar menyiasati kebutuhan hidup. "Jambu mete hanya berbuah setahun sekali, itupun kalau tidak banyak curah hujan. Jika saat berbuah hujan datang, sudah bisa dipastikan kami tidak bisa panen, karena buahnya membusuk. Itu karena kondisi tanah di sini, sehingga kami menyebut wilayah ini dengan sebutan Tanah Merah," kata Ridlof.

Ridlof dan keluarganya adalah salah satu peserta transmigrasi asal Nusa Tenggara dan Bali yang ditempatkan di daerah kaki Gunung Tompotika itu.

Kondisi tanah merah yang tidak subur dan mengandung nikel itu memaksa mereka harus mencari alternatif lahan ke dalam hutan. Padahal, hutan di sekitar Tanah Merah memegang peranan penting bagi kelangsungan hidup spesies endemik Sulawesi yang hampir punah, maleo.

"Hutan di sini menjadi salah satu koridor maleo sebelum burung itu terbang menuju tempat penelurannya di pasir Pantai Libuun, Desa Taima," kata Direktur Alliance for Tompotika Conservation (AlTo) Marcy Summers, Selasa (3/3).

Maleo adalah burung unik yang mempunyai kebiasaan bertelur yang tidak lazim sebagaimana burung lainnya. Maleo akan mencari sumber panas alami yang tepat untuk meletakkan telurnya. Selain di tanah yang punya sumber air panas, maleo hanya akan meletakkan telurnya di pasir pantai dengan suhu yang tepat, seperti di Pasir Libuun yang berjarak kurang lebih 20 kilometer dari Tanah Merah.

"Burung yang dilindungi itu akan terbang berpuluh-puluh kilometer hanya untuk meletakkan telurnya. Setelah itu pasangan maleo akan kembali ke hutan melalui koridornya," kata Koordinator Program Konservasi AlTo Noval Suling.

AlTo yang adalah lembaga nirlaba yang mengupayakan pelestarian maleo dan penyu di Tompotika, melakukan survei habitat Maleo di Tanah Merah pada tahun 2005, sebelum memulai program monitoring dan proteksi tempat peneluran maleo.

Kisah Athena

"Waktu itu tim kami datang ke Tanah Merah untuk survei. Saat datang di Sampaka, secara kebetulan ada warga yang berhasil menjerat seekor maleo. Burung itu dibawanya pulang dan diikat di kakinya. Dia tidak tahu bahwa itu maleo yang dilindungi dan terancam punah," kata Marcy.

Oleh Marcy, maleo itu kemudian dibelinya untuk dilepas kembali ke alam. Namun niatnya harus diurungkan karena burung itu terlihat lemah akibat kakinya yang cedera. Marcy lalu berinisiatif membawa maleo yang sakit itu ke penginapannya di Luwuk.

Dia lalu mencoba merawatnya. "Selama perawatan maleo itu terlihat sangat jinak, dia bahkan sering tidur di pangkuan saya, saat saya sedang membaca atau mengetik pekerjaan saya. Karena sudah terasa dekat, saya memberi maleo itu nama Athena," kata Marcy.

Setelah merasa cukup sehat, Marcy bersama timnya lalu membawa kembali maleo ke hutan di mana dia dijerat. Maleo itu akan dilepas di sekitar hutan Tanah Merah. Mereka melakukan pendakian ke Gunung Tompotika. Namun sekitar sejam mendaki, Marcy melihat maleo yang digendongnya malah terlihat semakin lemah.

"Saya lalu meminta anggota tim lainnya untuk meneruskan perjalanan, dan saya memilih istirahat di tepi sungai kedua. Saya berbaring di tanah dan maleo itu ikut berbaring di samping saya, dia terlihat sangat lemah," cerita Marcy.

Tak berselang berapa lama, maleo yang semestinya dilepasliarkan itu malah mati. Marcy sangat terpukul dan bersedih. Anggota tim lainnya yang kembali ke lokasi di mana Marcy istirahat ikut pula bersedih.

Mereka lalu menguburkan tubuh Athena di situ dan menandai kuburnya dengan sebuah batu besar. "Tempat ini kemudian diberi nama oleh warga Tanah Merah sebagai Athena untuk mengenang kisah maleo itu. Setiap kali saya datang ke Banggai, saya harus menyempatkan diri mendaki ke Athena," tegas Marcy yang ikut serta ke Athena pada pekan lalu.

Kisah Athena kemudian menjadi motivasi besar bagi pekerja AlTo selanjutnya. Lewat berbagai program konservasi, kini mereka telah mampu memproteksi lokasi peneluran maleo di Libuun, Desa Taima.

Melalui berbagai pendekatan, mereka juga mampu menyadarkan masyarakat betapa pentingnya menjaga kekayaan keanekaragaman hayati yang dimiliki Tompotika.

Festival untuk maleo dan penyu

Tahun ini Tim AlTO kembali menyambangi Tanah Merah dalam road show Festival International Maleo dan Penyu Tompotika yang dihelat dari tanggal 21 Februari hingga 3 Maret 2015. Rumah Ridlof menjadi salah satu base camp persiapan festival di Kecamatan Bualemo.

"Saya sudah merasa menjadi bagian dari mereka dan banyak tahu tentang usaha konservasi. Dalam setiap kesempatan saya juga mengajak warga desa untuk terus menjaga hutan walau itu memang tidak gampang," kata Ridlof yang juga guru sekolah dasar ini.

Ridlof tak hanya mengingatkan orang dewasa, pengetahuan yang didapatnya dari para pekerja konservasi itu juga disampaikan kepada murid-muridnya di SD Inpres Trans Sampaka Dua. Hasilnya, anak-anak itu menjadi paham apa itu maleo.

Dalam Festival yang digelar oleh AlTo itu, salah satu kegiatannya adalah lomba menulis cerpen bertema Maleo yang diikuti ratusan anak sekolah di Banggai. Ridlof bersama para guru lainnya patut berbangga, sebab dari 25 siswa mereka, 17 siswa di antaranya mampu menulis cerpen dengan baik.

"Tiga dari mereka masuk final dan mendapat hadiah dari AlTo. Kami semua warga desa bangga, ini karena kisah Athena yang menyentuh itu. Kini tugas kami selanjutnya adalah meyakinkan bahwa anak-anak ini kelak mampu menjaga lingkungan mereka terutama hutan tempat maleo hidup, agar burung unik itu terus ada," tegas Ridlof.

Selain lomba cerpen dalam festival yang selalu menyedot perhatian warga itu, ikut juga dilombakan kerajinan dari bahan daur ulang. Ada pula stan mewarnai, lukisan wajah, pameran foto alam liar Sulawesi, permainan musik dari barang bekas, workshop lentera dan jugling serta pentas drama.

"Semua kegiatan itu bertema maleo dan penyu sebagai upaya menyampaikan pesan konservasi," kata Manager Awarness AlTo, Shera.