Lebih dari Perkiraan, Ternyata Paus Adalah Insinyur Penting Ekosistem

By Ricky Jenihansen, Sabtu, 6 November 2021 | 08:00 WIB
Para peneliti dari Stanford University, UC Santa Cruz dan Duke University menyelidiki paus bungkuk dengan perahu dan drone di permukaan perairan dekat Semenanjung Antartika Barat. (Duke Marine Robotics and Remote Sensing Laboratory)

Nationalgeographic.co.id - Studi baru dari Stanford University, UC Santa Cruz, dan Duke University mengungkapkan bahwa paus adalah insinyur ekosistem yang lebih penting daripada yang diperkirakan sebelumnya. Rincian studi kolaborasi tersebut telah dipublikasikan di jurnal bergengsi Nature pada 4 November 2021.

Seperti diketahui, dari tahun 1910 hingga 1970, manusia membunuh sekitar 1,5 juta paus besar atau paus balin di air dingin yang mengelilingi Antarktika. Mereka diburu untuk diambil lemaknya dan balin—sistem penyaring makanan yang terdapat di dalam mulut paus balin.

Orang-orang mungkin berasumsi bahwa dari sudut pandang kril, makhluk kecil mirip udang yang menjadi santapan paus, hal itu akan menjadi keuntungan. Namun penelitian baru kali ini dari Lab Goldbogen Stanford University menunjukkan sebaliknya. Penurunan paus balin di Samudra Antarktika telah menyebabkan penurunan kril.

Peneliti dalam rilis Stanford University menyebutkan, bahwa hasil paradoks ini adalah tanda betapa penurunan drastis mamalia laut besar telah berdampak negatif terhadap kesehatan dan produktivitas ekosistem laut.

Baca Juga: Bagaimana Paus-paus Membantu Mendinginkan Temperatur Planet Bumi?

"Lima puluh tahun setelah kami berhenti berburu paus, kami masih mempelajari apa dampaknya. Sistemnya tidak sama. Kami sedang mencari cara untuk menggunakan informasi ini untuk memulihkan ekosistem laut dan mengembalikan paus. Dan mudah-mudahan, itu akan bermanfaat untuk semuanya, mulai dari konservasi keanekaragaman hayati hingga hasil perikanan hingga penyimpanan karbon," kata Matthew Savoca, seorang postdoctoral di lab Goldbogen di Stasiun Kelautan Hopkins Stanford dan penulis utama makalah tersebut.

Para peneliti sampai pada kesimpulan yang mengganggu setelah mengajukan pertanyaan yang sangat mendasar, berapa banyak yang dimakan paus?

Paus balin secara inheren sulit untuk dipelajari karena mereka tidak dapat dipelajari di penangkaran. Jadi, perkiraan sebelumnya tentang berapa banyak konsumsi paus umumnya terbatas pada studi tentang paus mati atau ekstrapolasi metabolik berdasarkan hewan yang jauh lebih kecil.

Video and 3D-motion yang dipasang pada paus balin (Goldbogen Lab)

Pada penelitian ini, para peneliti mengamati paus biru, sirip, bungkuk, dan minke, semua paus yang makan dengan meneguk sejumlah besar air dan menyaringnya melalui lapisan balin di mulutnya sampai hanya mangsanya yang tersisa. Peneliti menggunakan beberapa perangkat penandaan berteknologi tinggi yang menempel pada paus biasanya selama sekitar lima sampai 20 jam. Peneliti merekam gerakan mereka, akselerasi, suara dan, jika memungkinkan, termasuk cahaya dan video.

Drone yang dioperasikan oleh Duke Marine Robotics and Remote Sensing Laboratory, mengukur panjang individu paus yang ditandai, yang membantu para peneliti memperkirakan kemampuan tegukan mereka. Bekerja sama dengan Divisi Penelitian Lingkungan di NOAA dan University of California, Santa Cruz, para peneliti juga menjalankan perangkat bawah air yang disebut echo sounder. Yang terakhir, instrumen tersebut disamakan Savoca dengan "pencari ikan mewah" yang menggunakan gelombang suara pada beberapa frekuensi berbeda untuk mengukur berapa banyak mangsa di sekitar.

Analisis data yang mereka tangkap mengungkapkan bahwa paus di Samudra Antarktika makan sekitar dua kali lebih banyak kril dari perkiraan sebelumnya, dan bahwa paus biru dan bungkuk di lepas pantai California makan dua hingga tiga kali lebih banyak dari yang diperkirakan sebelumnya.