Merayakan Pembebasan si Loreng

By , Rabu, 18 Maret 2015 | 21:00 WIB

Di bawah pohon munggur, Marizal menatap kandang pelepasan Panti dan Petir. Hari itu, Marizal akan berpisah dengan Petir: seekor harimau sumatra yang telah dirawatnya sejak kecil. Tak ada gerak-gerik atau auman harimau dari dua kandang besi itu. Senyap.

Matahari terus bergeser ke titik tertinggi. Burung kirik-kirik biru beterbangan di angkasa menjemput mangsa.

"Keadaannya baik-baik saja. Asal jangan sering dilihat, nanti bisa stres," tutur Marizal dengan mata mengeriyip, menapis sinar matahari.

Pelepasan Petir membuat ayah tiga anak itu bagaikan kehilangan anak ke empat. Marizal terlalu banyak menyimpan kenangan bersama Petir. "Saya merawatnya sejak lahir, pasti banyak kenangan," ungkapnya lirih.

Satu hal yang kerap dikenangnya: Petir suka menyemburkan air. "Saat saya memberi makan atau membersihkan kandangnya."

Sedih atau gembira menyaksikan kucing besar berusia 3 tahun itu bakal lepas bebas? "Jengkel, tapi juga senang," tutur lelaki berusia 34 tahun ini.

"Sedih, tapi di depan kawan-kawan saya biasa-biasa saja. Rasanya di sini," imbuhnya sambil menepuk dada kirinya.

Petir punya dua saudara: Bintang dan Topan, yang ketiganya adalah anak-anak Panti. Di antara saudaranya, Petir dinilai paling siap dilepasliarkan. "Beratnya 120 kilogram. Ketiganya hampir sama bobotnya, tapi Petir lebih agresif mengejar dan membunuh mangsa," terang Marizal tentang harimau muda berusia tiga tahun itu.

Panti pernah dilepasliarkan pada 2010. Sekira setahun kemudian, Panti kembali terlihat di seputar areal Pusat Rehabilitasi Satwa Tambling Wildlife Nature Conservation. "Ada luka di jari tengah kaki depan sebelah kiri. Bolong kakinya," kenang Marizal.

Usai tiga minggu perawatan, Panti yang ternyata bunting, melahirkan tiga anak pada 26 Oktober 2011. Sepertinya, luka di kaki dan insting alami sebagai ibu telah mengantarkan Panti kembali ke Pusat Rehabilitasi.

Ibu Negara Ani Yudhoyono menyematkan nama bagi anak Panti: Petir, Bintang dan Topan. Foto-foto masa kecil ketiganya terpampang di pos Pusat Rehabilitasi Satwa. Mereka imut dengan mata syahdu. Menggemaskan.

Namun kini mereka telah menjadi kucing besar dengan loreng menyemburat di sekujur tubuhnya. Hari itu, 3 Maret 2013, tiga tahun berselang, Petir menjadi yang pertama mengarungi hidup bebas di belantara Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.

Petir, seekor harimau sumatra yang dilepasliarkan di TNWC di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung. (Dwi Oblo/National Geographic Indonesia)

Langkah Pertama Sang Belia

Tengah hari itu, Panti mengaum dari kandang pelepasan. Gemanya menggentarkan. Pendiri Tambling Wildlife Nature Conservation Tomy Winata baru saja menyingkap pintu penutup kandang Panti.

Dari jeruji kandang wajah Panti menyeringai. Kumisnya baplang, matanya tajam mengilap.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, dari atas jip, menarik tali baja yang terkait dengan pintu sangkar Panti. Rada kewalahan, Menteri Perikanan dan Kelautan Susi Pudjiastuti sigap membantu Siti Nurbaya.

Pintu terbuka: tanpa basa-basi, Panti melesat ke dalam kegelapan hutan. "Hutan itu memang daerah jelajahnya," jelas Satmoko, dokter hewan Pusat Rehabilitasi. Sebelum dilepasliarkan untuk kedua kalinya, Satmoko memaparkan, Panti telah menjelajahi kawasan di sekitar lokasi pelepasliaran.

Kini, detik-detik Petir akan lepas ke alam semakin berdetak kencang. Tomy Winata kembali turun: membuka pintu kandang, diiringi Kepala Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Timbul Batubara.

Kali ini kesempatan Susi Pudjiastuti menarik tali baja. Pintu kandang terbuka. Petir ke luar kandang. Ia mengendap-endap. Langkah kakinya merangkak pelan. Otot-otot di bahunya bergumpal-gumpal menegang. Mulutnya menganga.

Matanya menatap ke sekeliling. Ia sedikit kebingungan: menoleh ke kiri dan kanan. Satu-dua jenak ia berhenti, mengendap, dengan tatapan waspada. Para hadirin menahan napas.

Inilah pertama kali harimau berusia tiga tahun tiga bulan ini hidup bebas. Petir terus mengendap, seolah ada mangsa atau lawan di sekelilingnya. Pada sebuah pohon ia bernaung. Berhenti, berteduh, memindai. Beberapa menit lamanya Petir bolak-balik mengamati seputar.

Ia mungkin sedang menentukan pilihan: dari sudut mana akan menembus belantara. Dari pohon sembunyi, Petir masih mengendap-endap, memindai ke segala arah.

Ia muncul dari tempat sembunyi, menghampiri seekor babi hutan yang sengaja ditambatkan di pokok pohon. Si babi hutan panik, berjalan memutari pohon, menghindar dari Petir. Rupanya, Petir hanya mencolek babi mungil itu. Tetap mengendap, dengan otot-otot tubuh yang menegang, ia menatap ke hutan. Lalu ia merangkak pelan menuju rimba raya. Tubuhnya ditelan belantara.

Ketegangan meruap di udara saat harimau muda belia itu menghirup udara bebas. Usai Petir benar-benar masuk hutan, ketegangan runtuh.

Marizal saat itu hanya mengamati dari belakang jip, yang berada di samping Siti Nurbaya dan Susi Pudjiastuti. Dia paham: Petir tak pernah menjelajahi belantara sejak lahir. "Ia baru mengenali lingkungannya. Saat dilepas di kandang habituasi juga begitu perilakunya. Mengendap-endap," tuturnya.

Saat kembali ke Pusat Rehabilitasi, Marizal merasakan ada yang sirna. Ia kini jauh, sekaligus dekat. "Kandang dulu penuh, kini ada yang kosong."

Beberapa pekan sebelum pelepasliaran Panti dan Petir, Marizal menumpahkan perasaannya pada sekeping puisi.

Di antara bimbang dan sayang,

Yang pasti akan selalu kukenang

Walaupun kau akan pergi berpetualang

Jelajahi rimba belantara

Kuharap kau temukan tempat naungan yang aman

Bagai kampung halaman untuk berketurunan

Agar kalian terbebas dari kepunahan

Marizal, lelaki yang berkawan dengan harimau itu, tak mampu menahan rasa yang campur aduk: bimbang dan sayang. Namun dia telah memilih, 'Agar kalian terbebas dari kepunahan.'