Perbudakan di Balik Industri Perikanan Dunia

By , Kamis, 26 Maret 2015 | 12:50 WIB

Di desa pulau Benjina, Maluku, dan perairan sekitarnya, ratusan pria terjebak dalam situasi perbudakan dan mewakili salah satu mata rantai antara perusahaan-perusahaan dan negara-negara dalam industri makanan laut.

Jaring-jaring rumit ini memisahkan ikan yang kita makan dari pria-pria yang menangkapnya, dan menutupi kebenaran yang brutal: Makanan laut yang Anda makan mungkin ditangkap oleh para budak.

Pria-pria di Benjina itu sebagian besar berasal dari Myanmar, salah satu negara termiskin di dunia. Mereka dibawa ke Indonesia melalui Thailand dan dipaksa menangkap ikan. Hasil tangkapan kemudian dikirim ke Thailand, sebelum memasuki aliran perdagangan global.

Ikan-ikan yang ternoda itu dapat berakhir di rantai-rantai pasokan beberapa toko kelontong besar di Amerika, seperti Kroger, Albertsons dan Safeway; peritel terbesar negara itu, Wal-Mart; dan distributor terbesar, Sysco. Ikan-ikan itu dapat masuk ke dalam makanan kaleng untuk hewan, sebagai menu calamari di restoran mewah, dan meja makan kita.

Dalam investigasi selama setahun, kantor berita Associated Press mendokumentasikan perjalanan pengapalan makanan laut yang ditangkap para budak dari desa Benjina, melacaknya dengan satelit sampai pelabuhan Thailand, mengikuti truk-truk yang mengirimkannya ke pabrik-pabrik, tempat penyimpanan dan pasar ikan di Amerika.

Hewan-hewan laut itu juga dikirim ke Eropa dan Asia. Keseluruhan rantai pasokan tidak jelas, dan uang dihasilkan ke perusahaan-perusahaan yang mendapat keuntungan dari tenaga kerja budak.

Perusahaan-perusahaan besar menyatakan mereka mengutuk penyalahgunaan tenaga kerja. Semua mengatakan mereka mengambil langkah untuk mencegah tenaga kerja paksa, seperti bekerja dengan kelompok-kelompok hak asasi manusia agar sub-kontraktor bertanggung jawab.

Beberapa distributor makanan laut yang independen menggambarkan langkah-langkah yang lengkap dan mahal yang telah diambil untuk menjamin pasokan mereka bersih. Mereka mengatakan penemuan budak-budak itu menggarisbawahi betapa sulitnya mengawasi apa yang terjadi di belahan dunia lain.

Para budak mengatakan tidak tahu ke mana perginya ikan yang mereka tangkap. Mereka hanya tahu bahwa saking berharganya ikan-ikan itu, mereka dilarang memakannya.

Mereka mengatakan para kapten di kapal-kapal nelayan memaksa mereka minum air kotor dan bekerja selama 20-22 jam setiap giliran, tanpa hari libur. Hampir semuanya mengatakan mereka ditendang, dicambuk dengan ekor ikan pari atau dipukul jika mengeluh atau mencoba beristirahat. Bayaran mereka sangat kecil atau bahkan tidak dibayar, untuk pekerjaan menarik jala yang berat berisikan udang, cumi, kakap, kerapu dan ikan-ikan lainnya.

"Saya ingin pulang. Semua ingin pulang," ujar seorang pria dalam bahasa Myanmar. "Orangtua kami sudah lama tidak mendengar kabar dari kami. Saya yakin mereka pikir kami sudah mati."

Yang lain dengan ketakutan melihat ke arah tempat tinggal kapten, sebelum berseru: "Ini penyiksaan. Ketika kita dipukul, kita tidak dapat melawan.. Hidup kita ada di tangan Dewa Kematian."

Dalam kasus-kasus terburuk, banyak pria melaporkan para budak yang menjadi cacat atau bahkan mati di kapal mereka.