Perbudakan di Balik Industri Perikanan Dunia

By , Kamis, 26 Maret 2015 | 12:50 WIB

"Jika orang-orang Amerika dan Eropa makan ikan, mereka harus ingat kami," ujar Hlaing Min, 30, budak yang kabur dari Benjina.

"Pasti ada tumpukan tulang di bawah laut... Tulang manusia yang bisa jadi sebuah pulau saking banyaknya."

Thailand

Bagi para budak Myanmar, Benjina adalah akhir dunia. Pulau terpencil itu terletak di Laut Arafura, yang memiliki beberapa wilayah perikanan paling kaya dan beragam di dunia.

Meski ada di wilayah Indonesia, daerah ini menarik banyak armada perikanan ilegal, termasuk dari Thailand. Perdagangan ini berdampak pada Amerika Serikat dan negara-negara lainnya.

Amerika Serikat menganggap Thailand sebagai salah satu pemasok makanan laut teratasnya, dan membeli 20 persen dari ekspor tahunan negara senilai US$7 miliar dalam industri tersebut. Tahun lalu, Departemen Luar Negeri memasukkan Thailand ke daftar hitam karena gagal memenuhi standar-standar minimal dalam melawan perdagangan manusia, membuat negara itu setara dengan Korea Utara, Suriah dan Iran. Namun tidak ada sanksi tambahan.

Industri makanan laut Thailand sebagian besar bergantung pada tenaga kerja migran, dan perlakuan atas sejumlah pekerja ada dalam definisi perbudakan, termasuk memperdagangkan manusia dan mengeksploitasi mereka, dan pada kasus ekstrem diculik dan diperdayakan untuk bekerja di kapal, lalu dipukuli dan dirantai.

Pemerintah Thailand mengatakan mereka sedang mengatasi masalah tersebut, dan juga berjanji akan melakukan pencatatan baru nasional atas pekerja migran ilegal, termasuk lebih dari 100.000 yang membanjiri industri makanan laut.

Namun hal itu semakin sulit karena perikanan ilegal yang telah terjadi puluhan tahun telah mengurangi stok dekat Thailand, membuat kapal-kapal semakin jauh dan dalam ke perairan asing.

Indonesia 

Pemerintah Indonesia telah memberlakukan larangan sementara untuk sebagian besar penangkapan ikan, berupaya membersihkan pemburu asing yang mengambil miliaran dolar makanan laut dari perairan negara. Sebagai hasilnya, lebih dari 50 kapal sekarang berlabuh di Benjina, membuat sampai 1.000 budak lagi terdampar di pantai dan menunggu apa yang akan terjadi berikutnya.?

Pemerintah mencoba menegakkan aturan yang melarang kapal kargo mengambil ikan dari kapal di laut. Praktik ini memaksa para penangkap ikan tinggal di perairan selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun, pada dasarnya menciptakan penjara mengapung.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, mengatakan ia telah mendengar perusahaan-perusahaan perikanan yang berbeda-beda menaruh budak-budak di sel. Ia menambahkan bahwa ia yakin para pemukat di Benjina dimiliki orang-orang Thailand, meski dokumennya berasal dari Indonesia, mencerminkan praktik umum memalsukan atau menggandakan izin.

Ia mengatakan sangat terganggu dengan penyalahgunaan di Benjina dan pulau-pulau lain.

"Saya sangat sedih. Saya kehilangan selera makan, tidak bisa tidur," ujarnya. "Mereka membangun kerajaan lewat perbudakan, pencurian, pengambilan ikan, kehancuran lingkungan yang masif untuk sepiring makanan laut."

Makanan laut yang ditangkap para budak di Benjina mungkin dikirim ke seluruh dunia, namun hidup mereka seringkali berakhir di sini.?