Tim ilmuwan dari Amerika Serikat, Kanada, Cina, Meksiko, dan Prancis yang dipimpin Syracuse University's Department of Earth and Environmental Sciences telah menyelidiki lingkungan laut sebelum, selama, dan setelah kepunahan Ordovisium akhir. Tujuannya untuk menentukan bagaimana peristiwa itu terjadi dan dipicu. Hasil studi tersebut telah diterbitkan di jurnal Nature Geoscience.
Untuk melukiskan gambaran ekosistem laut selama Periode Ordovisium, pakar kepunahan massal Seth Finnegan, profesor di UC Berkeley, mengatakan bahwa laut saat itu penuh dengan keanekaragaman hayati. Lautan mengandung beberapa terumbu pertama yang dibuat oleh hewan, tetapi tidak memiliki banyak vertebrata.
"Jika Anda pergi snorkeling di laut Ordovisium, Anda akan melihat beberapa kelompok yang sudah dikenal seperti kerang dan siput dan bunga karang, tetapi juga banyak kelompok lain yang sekarang sangat berkurang keanekaragamannya atau sama sekali punah seperti trilobita, brakiopoda, dan crinoid," kata Finnegan dalam rilis Syracuse University.
Tidak seperti kepunahan massal yang cepat, seperti peristiwa Cretaceous-Tertiary extinction di mana dinosaurus dan spesies lain mati tiba-tiba sekitar 65,5 juta tahun yang lalu, Finnegan mengatakan LOME terjadi selama periode waktu yang substansial, dengan perkiraan antara kurang dari setengah juta hingga hampir dua juta tahun.
Salah satu perdebatan utama seputar LOME adalah apakah kekurangan oksigen dalam air laut menyebabkan kepunahan massal pada periode tersebut. Untuk menyelidiki pertanyaan ini, tim mengintegrasikan pengujian geokimia dengan simulasi numerik dan pemodelan komputer.
Para peneliti mengukur konsentrasi yodium dalam batuan karbonat dari periode itu. Konsentrasi unsur ini dalam batuan karbonat berfungsi sebagai indikator perubahan tingkat oksigen lautan dalam sejarah Bumi.
Halaman selanjutnya...