Kisah Menyeramkan Fotografer Peliput Imigran di Laut Mediterania

By , Senin, 4 Mei 2015 | 08:00 WIB

Melalui foto-fotonya, Juan Medina telah melaporkan kepada dunia mengenai kisah para imigran gelap yang mencoba menjangkau Eropa selama dua dekade terakhir.

Setelah insiden yang menewaskan ratusan imigran di dekat Pulau Lampedusa, pada pertengahan April lalu, fotografer pemenang World Press itu membeberkan pengalamannya. 

Saya mulai mengabadikan foto-foto imigran karena saya bermukim di Fuerteventura di Kepulauan Canary. Di sana saya bekerja sebagai fotografer untuk surat kabar setempat. 

Pada 2004, para imigran berdatangan dari kawasan sub-Sahara Afrika. Apa yang terjadi tiada bedanya dengan apa yang telah dan akan terjadi. 

Perjalanan melintasi Laut Mediterania ditempuh banyak orang demi kehidupan yang lebih baik. Sewaktu-waktu kapal bisa terbalik, kehabisan bahan bakar, mesin bisa mengalami kerusakan karena rentan dengan cuaca dingin. 

Sepanjang tahun 2015 yang belum berjalan sampai empat bulan ini saja, diperkirakan 900 pengungsi tewas saat berupaya menyeberangi Laut Mediterania. (Juan Medina/Reuters via BBC Indonesia)

Pada suatu hari, para imigran memenuhi sebuah kapal kecil atau disebut patera. Mereka telah berada di situ selama berjam-jam. 

Begitu mereka mencapai Kepulauan Canary, patroli perbatasan menunggu untuk menangkap mereka. Para imigran mulai menuju kapal yang lebih besar. Tapi, selagi mereka bergerak, kapal mereka terbalik. Sebanyak 29 orang bisa diselamatkan, sembilan tewas. 

Semua penumpang adalah laki-laki. Kebanyakan datang dari Mali, sebagian dari Pantai Gading, dan sebagian lain dari Ghana. 

Para imigran mulai menuju kapal yang lebih besar. Tapi, selagi mereka bergerak, kapal mereka terbalik. (Juan Medina/Reuters via BBC Indonesia)

Saya tahu apa yang menimpa dua penumpang kapal itu, Isa dan Ibrahim. Saya bertemu dengan mereka ketika mereka diselamatkan. Mereka saya abadikan dalam foto ketika diangkat dari laut. 

Mereka dikirim ke Spanyol. Isa ke Valencia, Ibrahim ke Murcia. Mereka menjelaskan apa yang terjadi di kampung halaman mereka di Mali. Mereka berasal dari keluarga besar. Isa, misalnya, bergantung pada hasil panen setiap tahun. Pekerjaan jarang ada. Mereka tidak punya kesempatan. 

Meski ada begitu banyak risiko, mereka memutuskan untuk menempuh perjalanan. Bagi mereka, itulah satu-satunya jalan keluar. Mereka berpikir perjalanan ke Eropa patut dicoba untuk membantu keluarga. Mungkin mereka tidak tahu persis apa yang akan terjadi pada mereka menit demi menit, tapi mereka paham itu berbahaya.