Melalui foto-fotonya, Juan Medina telah melaporkan kepada dunia mengenai kisah para imigran gelap yang mencoba menjangkau Eropa selama dua dekade terakhir.
Setelah insiden yang menewaskan ratusan imigran di dekat Pulau Lampedusa, pada pertengahan April lalu, fotografer pemenang World Press itu membeberkan pengalamannya.
Saya mulai mengabadikan foto-foto imigran karena saya bermukim di Fuerteventura di Kepulauan Canary. Di sana saya bekerja sebagai fotografer untuk surat kabar setempat.
Pada 2004, para imigran berdatangan dari kawasan sub-Sahara Afrika. Apa yang terjadi tiada bedanya dengan apa yang telah dan akan terjadi.
Perjalanan melintasi Laut Mediterania ditempuh banyak orang demi kehidupan yang lebih baik. Sewaktu-waktu kapal bisa terbalik, kehabisan bahan bakar, mesin bisa mengalami kerusakan karena rentan dengan cuaca dingin.
Pada suatu hari, para imigran memenuhi sebuah kapal kecil atau disebut patera. Mereka telah berada di situ selama berjam-jam.
Begitu mereka mencapai Kepulauan Canary, patroli perbatasan menunggu untuk menangkap mereka. Para imigran mulai menuju kapal yang lebih besar. Tapi, selagi mereka bergerak, kapal mereka terbalik. Sebanyak 29 orang bisa diselamatkan, sembilan tewas.
Semua penumpang adalah laki-laki. Kebanyakan datang dari Mali, sebagian dari Pantai Gading, dan sebagian lain dari Ghana.
Saya tahu apa yang menimpa dua penumpang kapal itu, Isa dan Ibrahim. Saya bertemu dengan mereka ketika mereka diselamatkan. Mereka saya abadikan dalam foto ketika diangkat dari laut.
Mereka dikirim ke Spanyol. Isa ke Valencia, Ibrahim ke Murcia. Mereka menjelaskan apa yang terjadi di kampung halaman mereka di Mali. Mereka berasal dari keluarga besar. Isa, misalnya, bergantung pada hasil panen setiap tahun. Pekerjaan jarang ada. Mereka tidak punya kesempatan.
Meski ada begitu banyak risiko, mereka memutuskan untuk menempuh perjalanan. Bagi mereka, itulah satu-satunya jalan keluar. Mereka berpikir perjalanan ke Eropa patut dicoba untuk membantu keluarga. Mungkin mereka tidak tahu persis apa yang akan terjadi pada mereka menit demi menit, tapi mereka paham itu berbahaya.
Saya pergi ke rumah mereka di Mali untuk bertemu dengan keluarga mereka. Saya disambut dengan tangan terbuka, dengan begitu banyak cinta—kebalikan dengan bagaimana cara orang Spanyol menyambut para imigran.
Keluarga mereka menceritakan kisah mereka sehingga saya paham mengapa Isa dan Ibrahim mempertaruhkan nyawa ke Eropa.
Hal utama yang mengejutkan saya ialah kondisi hidup di kampung halaman mereka. Mereka bisa tewas di laut, tapi mereka menghadapi tekanan yang lebih besar saat bertahan hidup di kampung halaman. Mereka melakukannya karena tiada jalan lain, bukan karena mereka mencari petualangan.
Pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, orang-orang bertolak ke gerbang Eropa seperti halnya yang para budak alami pada abad ke-17.
Sebagian besar tenggelam di laut, terjebak di kapal rapuh yang rawan. Setelah 20 tahun melaporkan berita mengenai imigran yang mencoba ke Eropa, orang-orang masih tenggelam setiap pekan, tiada yang berubah.
Kalaupun ada perubahan, itu adalalah perubahan yang memburuk. Setiap ada tragedi kapal tenggelam, rasanya lebih menyakitkan karena orang-orang kehilangan nyawa mereka.
Di perbatasan Eropa, keberadaan polisi makin banyak. Namun, orang-orang masih tewas.