Reuni Wartawan dengan Korban Tsunami Aceh

By , Rabu, 6 Mei 2015 | 16:30 WIB

Selama dua hari, kami mengobrol di rumah kecilnya, berkunjung ke sekolah dan makan siang dengan teman-teman dekatnya, saya belajar lebih banyak tentang cobaan dan komplesitas hidupnya, dan itu membawa saya memahami bahwa pengalaman Mawardah merupakan cerminan keadaan di Aceh dalam satu dekade setelah tsunami.

Di sana pertama kali dibangun rumah - satu dari 140.000 unit yang dibangun dengan bantuan dana internasional sebanyak US$7milliar untuk Aceh.

Rumah Marwadah dibangun dengan cepat dan atapnya tampak bocor, tembok tipis. Dan saya ingat sejumlah pertengkaran yang tidak pantas di awal masa pembangunan rumah-rumah untuk para korban tsunami yaitu mengenai keluarga mana yang akan memiliki hak atas rumah.

Tetapi, bangunan itu akhirnya sesuai dengan peruntukannya, dan keluarga kemudian mengakui bahwa rumah mereka lebih baik dibandingkan yang mereka miliki sebelum 2004.

Di tempat lain, banyak rumah tidak ditempati - bangunan itu dibangun di tengah kebingungan karena koordinasi yang buruk, dan seringkali bersaing antar lembaga bantuan, memiliki banyak uang dan terkadang lebih memikirkan menghabiskannya dengan cepat dibandingkan mengetahui keinginan komunitas lokal.

"Saya memberikan (skor untuk) upaya bantuan 65 (dari 100)," kata Muslahuddin Daud, seorang pejabat Bank Dunia yang hampir terkena tsunami.

"Banyak yang tidak sempurna. Untuk US$7milliar kami dapat melakukannya lebih baik dengan banyak cara. Banyak rumah-rumah kosong... berlebihan. Kami memiliki lebih dari 500 organisasi bantuan dan... banyak yang tumpang tindih.

"Dan banyak uang bantuan asing dalam jangka panjang membuat orang jadi bergantung - dan mereka jadi malas. Pertumbuhan di Aceh masih mandeg - kemampuan untuk mengelola sumber daya tidak ada," kata Daud.

!break!

'Perempuan yang kuat'

Dan kemudian terjadi perdamaian.

Sebelum tsunami, Aceh bergulat dengan kekerasan akibat pemberontakan. Meski masih berusia 11 tahun, Mawardah ingat kondisi tersebut berdampak pada semua orang, ketakutan, jalanan ditutup dan bentrokan yang terjadi di desa-desa.

Tetapi bencana kemudian membawa pembicaraan damai, dan saat ini provinsi ini terus mendapatkan manfaat dari kesepakatan otonomi yang mengakhiri konflik.