Kilas Balik: Pisowanan Agung Rakyat Yogyakarta di Alun-alun Utara 20 Mei 1998

By , Rabu, 13 Mei 2015 | 13:45 WIB

Sultan Hamengku Buwono X dan KGPAA Paku Alam VIII hari Rabu (20/5/1998) mengajak masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta dan seluruh rakyat Indonesia secara bersama-sama mendukung Gerakan Reformasi. Seruan itu dinyatakan dalam suatu maklumat yang dibacakan Sultan HB X di hadapan hampir sejuta penduduk Yogyakarta dan sekitarnya di Pagelaran Keraton, Yogyakarta.

Pembacaan Maklumat Sultan Yogyakarta dan Gubernur DIY itu merupakan puncak acara yang diselenggarakan Aksi Gerakan Rakyat Yogyakarta dan sekitarnya. Seluruh acara dari pagi hingga petang berlangsung tertib, damai, dan mengharukan. Acara pertama di Kampus UGM kemudian diteruskan di Pagelaran dan Alun-alun Utara depan Keraton Yogyakarta. Hadir saat itu sekitar satu juta orang.

Dalam amanat sambutannya, Sultan HB X mengingatkan bahwa kalau merenungkan sejarah perjuangan bangsa, maka maknanya yang sekarang pantas dipetik adalah "kembali pada semangat kejuangan Yogyakarta yang dijiwai asas kerakyatan dan laku prasaja (berlaku sederhana. - Red), agar dengan demikian generasi muda calon pemimpin bangsa tetap setia pada semangat kerakyatan dan kesederhanaan itu, yang memang merupakan akar budaya bangsa yang sebenar-benarnya."

Pada Rabu (20/5/1998) sekitar satu juta penduduk Yogyakarta memadati Alun-alun Utara untuk berkumpul dan mendengarkan pembacaan Maklumat Sultan Yogyakarta dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Pembacaan maklumat merupakan puncak acara Aksi Gerakan Rakyat Yogyakarta dan sekitarnya. (Dwi Oblo)

"Banyak penguasa yang senantiasa mencari makna simbolik di balik setiap peristiwa. Apa lagi jika simbolisasi itu dimaknakan justru dengan tafsir yang salah-kaprah, yang seakan tak terbantah karena keluar dari fatwa sang penguasa," kata Sultan HB X.

Sultan HB X kemudian memberikan beberapa contoh. Ora-ilok (tidak pantas - Red) diartikan tidak boleh mengkritik penguasa. Mbeguguk ngutha waton (keras kepala -Red), dan mbalelo (membangkang -Red), hanya disandangkan bagi rakyat yang menuntut haknya sehingga pantas digebug (dihantam dengan pemukul -Red) dan dilibas, dan bukannya bagi penguasa yang sudah tak bisa menangkap aspirasi rakyat karena terlalu asyik dengan permainan kekuasaan saja. Lalu, aja dumeh (jangan mentang-mentang -Red) malah dialamatkan hanya bagi rakyat yang tergusur, bukannya bagi mereka yang menggusur dan makmur di atas pundak rakyat banyak. Dan unggah-ungguhing trapsila (tata krama - Red) yaitu tepa salira dan ewuh-pekewuh (tenggang rasa -Red) hanya boleh dikenal oleh rakyat, bukan bagi pejabat yang korup maupun kolusi dan lain sebagainya.

Semua itu, menurut Sultan HB X, adalah krisis moral yang berlanjut pada krisis kepercayaan rakyat pada penguasa. "Kita sudah lama menaruh kekhawatiran besar. Karena ketakutan struktural, maka makna yang salah kaprah itulah yang dibenarkan penguasa di level (tingkat) bawahan, yang semakin ke bawah semakin melenceng dari makna yang sejati. Sedihnya, bahkan sering bertolak belakang dengan makna yang diajarkan oleh para leluhur," ujarnya kemudian.

Aksi Gerakan Rakyat Yogyakarta dan sekitarnya yang dihadiri hampir satu juta penduduk itu berkumpul di Alun-alun Utara, Rabu (20/5/1998). (Dwi Oblo)

"Dan memang, sungguh kita sedang berada di ujung jalan, atau di permulaan jalan baru yang mungkin saja masih panjang, di mana dituntut peran segenap rakyat guna mengantar bangsa ini ke gerbang cita-cita," kata Sultan HB X.

Sultan HB X menegaskan, dengan Proklamasi 17 Agustus 1945 maka kedaulatan adalah berada di tangan rakyat, dan dengan Maklumat 5 September 1945 maka rakyat Yogyakarta mendukung Proklamasi dan berpihak kepada Republik. Maklumat itu dibuat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yang antara lain menyatakan wilayah Kesultanan Yogyakarta menjadi daerah istimewa dalam negara Republik Indonesia.

"Maka adalah panggilan sejarah, jika sekarang segenap komponen rakyat Yogyakarta tampil mendukung Gerakan Reformasi Nasional bersama kekuatan reformasi yang lain." kata Sultan HB X. "Untuk itu saudara-saudaraku rakyat Yogyakarta, saya bersama Sri Paduka Paku Alam VIII menyampaikan maklumat bagi bangsa dan rakyat Yogyakarta."

Yang salah, seleh

"Sikap saya ini sesuai dengan amanat almarhum Sri Sultan Hamengku Buwono IX (ayahnya-Red), bahwa yang salah akan seleh (yang salah harus mengaku dan meletakkan jabatan-Red). Dan perjuangan yang lurus akan diridhoi Tuhan. Dalam situasi seperti ini, tidak ada pilihan lain kecuali memihak kepada rakyat. Rakyat jangan hanya jadi obyek ketidakadilan terus-menerus. Semuanya itu telah tamat," ujar Sultan HB X kepada pers kemudian, sambil menambahkan harapannya bahwa Yogyakarta agar menjadi kota pelopor gerakan reformasi secara damai.