Bagaimana Kita Tahu Bahwa Iklim Sedang Berubah? (2)

By , Selasa, 19 Mei 2015 | 15:40 WIB

Penurunan Jumlah Spesies

Di ketinggian puncak Schrankogel di Austria, Daniela Hohenwallner dari University of Vienna mengambil contoh lumut untuk mencari dampak perubahan iklim.  Pemanasan yang cepat di lingkungan pegunungan menyebabkan tumbuh-tumbuhan pindah ke tempat yang lebih tinggi agar tetap berada dalam relung habitatnya. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pemadatan spesies yang kemudian terjadi di puncak gunung mungkin akan mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati di kawasan itu karena persaingan untuk mendapatkan ruang yang meningkat—perubahan yang telah diramalkan oleh model iklim satu dasawarsa yang lalu.

Pola Energi

Ini ilmu ekonomi sederhana: Jika penghasilan setara pengeluaran, saldo di rekening bank tak akan berubah. Seperti rekening tabungan, Bumi juga punya “rekening energi”. Setiap detik radiasi Matahari sampai ke Bumi dalam jumlah yang cukup konstan. Sekitar 30 persen dipantulkan kembali, sementara benua, samudra, dan atmosfer menyerap 70 persen sisanya. Saat “pendapatan” energi berakumulasi, Bumi juga membelanjakannya—meradiasikan energi panas yang tersimpan, kembali ke luar angkasa. Sepanjang sejarah manusia, energi yang diterima dan dikeluarkan selalu setara, jadi suhu total Bumi menjadi kurang lebih tetap. Namun, sepertinya hal itu berubah. Bumi menyimpan panas melalui gas atmosferis—uap air berbentuk awan, CO2, metana, dan lain-lain—yang memerangkap sebagian panas yang diradiasikan permukaan planet. Inilah efek rumah kaca yang terkenal. Tanpa itu, menurut seorang profesor dan peneliti iklim Harvard, Steven Wofsy, suhu dunia akan berada di sekitar minus 20°C. “Efek rumah kaca adalah fenomena alam, namun kita manusia yang mempermainkannya,” ujarnya. Aktivitas manusia, termasuk membakar bahan bakar fosil seperti batu bara dan minyak untuk industri dan transportasi, meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca secara dramatis, menaikkan level CO2 sekitar 36 persen lebih tinggi daripada saat abad ke-18, sebelum revolusi industri mengakibatkan adanya penggunaan batu bara secara luas.  Kontribusi umat manusia kepada atmosfer ini menyebabkan meningkatnya kinerja termostat di rumah kaca. 

!break!

Gas rumah kaca memerangkap panas

Energi Matahari diserap dan dipantulkan oleh atmosfer dan Bumi. Permukaan bumi meradiasikan energi Matahari yang diserap, ke luar angkasa. Gas rumah kaca menyerap panas yang diradiasikan melalui atmosfer. Gas meradiasikan kembali panas ke segala arah. Sebagian besar tetap di atmosfer. Lebih banyak gas, artinya lebih banyak panas terperangkap di atmosfer.

Gas rumah kaca berbeda

CO? sejauh ini adalah gas rumah kaca paling berlimpah yang dibuat manusia. Namun, metana and dinitrogen oksida lebih berpotensi dan konsentra-sinya juga meningkat. Molekul demi molekul, dinitrogen oksida memerangkap panas 200 kali lipat daripada  karbon dioksida.

Berapa lama Gas bertahan

Metana dan N2O bertahan di atmosfer selama 12 dan 114 tahun; CO2 selama berabad-abad.

Siklus Karbon

Karbon, elemen dasar kehidupan, selalu berpindah antara atmosfer, samudra, dan daratan. Bahkan saat tanaman mengambil sejumlah besar karbon dioksida dari udara, perubahan penggunaan lahan seperti konversi hutan menjadi lahan pertanian di Basin Amazon (kiri) menambah karbon di atmosfer. Proses pembentukan cangkang krustasea laut (kanan), menyerap sejumlah besar karbon. Proses geologis yang perlahan, seperti pembentukan batu bara atau gas alam, mengasingkan karbon di dalam tanah.

Hal ini membentuk jaringan kompleks siklus karbon. Salah satu fungsinya adalah mengendalikan karbon dioksida atmosferis, yang berpengaruh terhadap banyaknya panas Matahari yang diserap Bumi.

Selama sejarah manusia, kebanyakan besar siklus ini berputar perlahan dan konstan. Namun, aktivitas kita setidaknya satu abad terakhir membuatnya berputar terlalu cepat, ujar Pieter Tans, peneliti iklim di National Oceanic and Atmospheric Administration. “Manusia mengambil material yang disisihkan perlahan dalam siklus karbon dan membakarnya dalam bentuk bahan bakar fosil dengan cepat,” katanya. “Dalam waktu lama siklus karbon hampir berada dalam keseimbangan. Kini, setiap tahun kita membuang sekitar 16.000 kilometer kubik karbon dioksida ke atmosfer.”

Karbon Berpindah

Atmosfer, daratan, dan lautan memiliki simpanan raksasa yang mengeluarkan karbon dan menyerapnya dalam siklus alami, seperti siklus air di Bumi. Namun, selama 200 tahun terakhir, manusia memindahkan karbon dalam jumlah besar ke atmosfer melalui penggundulan hutan dan pemakaian bahan bakar fosil, mengubah ritme alami yang telah berlangsung selama ribuan tahun.

Daratan  3.800 gigaton karbon

Karbon tersimpan pada tumbuhan dan tanah. Api, pertumbuhan tanaman, pelapukan, dan deforestasi memindahkan karbon antara daratan dan atmosfer.

Atmosfer 762 gigaton karbon

Aktivitas manusia meningkatkan CO2 di udara secara signifikan dalam 250 tahun terakhir, lebih tinggi daripada yang tercatat dalam inti es berusia 800.000 tahun.

Lautan 38.271 gigaton karbon

Laut yang dalam dan dingin menyimpan karbon sekitar 50 kali jumlah yang ada di atmosfer. CO2 berpindah dengan cepat di antara udara dan permukaan atas air laut, namun bisa memakan waktu berabad-abad untuk mencapai dasar laut.

!break!

Ancaman Asam

Semakin banyak CO2 yang diserap, semakin asam lautan. Hewan laut bercangkang pun terancam. Cangkang pteropoda larut setelah mengalami pajanan laboratorium terhadap air laut dengan CO2 yang diperkirakan ada di Samudra Antartika tahun 2100.

Deforestasi

Penebangan yang merajalela, juga pertanian yang membabat dan membakar hutan, telah meratakan area hutan Kalimantan yang rimbun dan menyimpan karbon—rumah bagi satwa teran­cam punah seperti orangutan dan gajah kerdil Kalimantan. Penebangan secara intensif di pulau itu telah membuka ribuan hektare untuk perkebunan kelapa sawit swasta dan hutan tanaman industri untuk kebutuhan pulp sembari memenuhi permintaan ekspor kayu yang menguntungkan. Deforestasi menyumbang 20 persen emisi CO2 yang diakibatkan oleh manusia.

Suhu dunia

Menurut hukum dasar fisika, emisi CO2 yang berlimpah memperbesar efek rumah kaca dan meningkatkan suhu di seluruh dunia. Demikianlah yang ditunjukkan oleh data iklim. Sekarang suhu Bumi rata- rata lebih panas 0,7°C dibanding pada 1906.Peningkatan suhu permukaan tercatat di setiap benua dan samudra, paling besar terjadi di Arktika, yaitu 2,2° sampai 2,7°C dalam 50 tahun terakhir.

Daratan lebih cepat memanas daripada lautan yang merupakan pembuang panas alami. Perubahan suhu siang ke malam mengecil karena lebih sedikit panas yang terbuang ke angkasa saat Matahari tenggelam.

Orang yang skeptis mengklaim, variasi alami ak-tivitas Surya bisa menjelaskan pemanasan ini. Namun, secara umum para klimatolog mengabaikan teori ini. Daya yang memperbesar efek rumah kaca pada iklim kita lebih dari sepuluh kali fluktuasi keluaran Matahari.

Bumi yang Memanas

Arktika mengalami laju pemanasan tercepat karena penyusutan lapisan es dan saljunya. Sekarang, di kawasan garis lintang 30 hingga 60 derajat, malam yang dingin lebih sedikit. Gelombang panas lebih sering terjadi. Samudra Hindia dan Pasifik bagian barat lebih hangat daripada waktu lain dalam kurun 11.500 tahun. Bertentangan dengan pola: Beberapa kantong lautan didinginkan oleh pembalikan massa air perairan dalam. Kerusakan ozon di atas Kutub Selatan mungkin mendinginkan sebagian Antartika.

Zaman Es dan Panas

Tingkat karbon dioksida yang diukur dalam inti es Antartika naik dan turun sejalan dengan suhu global dan tinggi permukaan laut dalam 400.000 tahun terakhir. Catatan itu menunjukkan bahwa zaman es menutupi planet dalam waktu lama, disela oleh zaman-zaman hangat yang lebih singkat. Secara historis, suhu naik terlebih dahulu, kemudian CO2 meningkat, mempercepat kenaikan suhu. Hal yang membuat situasi saat ini tak terduga adalah CO2 tak pernah meningkat sedemikian pesat dan tinggi, jauh meninggalkan suhu.

Selubung Es Berubah

Tak ada tempat yang pemanasan globalnya melaju lebih cepat dari Samudra Arktika, tempat bantalan es menyusut dan menipis sejak awal 1990-an. Namun, perubahan itu baru menarik perhatian dunia akhir musim panas 2007 ketika kanal yang biasanya tertutup es, seperti Northwest Passage, bisa dilalui kapal. Banyaknya perairan terbuka yang menyerap lebih banyak panas daripada laut berlapis es bisa mempercepat pelelehan. Contoh sederhana lingkaran umpan balik ini adalah air yang mengalir ke dalam lubang udara anjing laut yang melelehkan lebih banyak es dalam area yang meluas. Saat ilmuwan di National Snow and Ice Data Center membandingkan prediksi model iklim dengan pelelehan Samudra Arktika yang sebenarnya, ternyata simulasi itu terlalu konservatif. “Esnya bukan hanya lebih rendah, namun berada di luar jangkauan model-model itu” kata Walt Meier, salah satu penulis dalam penelitian.

Cakupan es samudra Arktika akhir musim panas 2007 ada di titik terendah sejak survei es lewat satelit dimulai pada akhir 1970-an. Kombinasi beberapa faktor, termasuk angin selatan yang hangat dan jarangnya awan, menyusutkan es musim panas 1,3 juta kilometer persegi dari luas minimum sebelumnya pada 2005.

Tahun 2007 luar biasa panas menurut standar kecenderungan pemanasan regional Arktika. Tahun mendatang akan lebih panas lagi. Peneliti di National Snow and Ice Data Center memperkirakan Samudra Arktika bebas es di musim panas 2030. Rute perdagangan legendaris akan terbuka, membuat banyak negara berebut mengklaim perairan terbuka baru.

!break!

Gletser yang Menyusut

Peningkatan suhu di Islandia mencairkan lebih dari 60 meter gletser Sólheimajökull selama enam bulan pada 2006, yang merupakan bagian dari penyusutan gletser global. Jika pemanasan terus berlangsung, Islandia akan kehilangan 40 persen gletsernya pada 2100 dan akan bebas es tahun 2200.

Curah Hujan Berubah

Lebih banyaknya curah hujan yang membawa bencana seiring peluasan tanah gersang, mungkin terlihat seperti paradoks iklim—sampai kita memahami bagaimana panas yang meningkat mengubah perilaku air di Bumi. Udara yang lebih hangat mengandung lebih banyak uap air, meningkatkan potensi badai dan hutan lebat, juga penguapan. Akibatnya, kawasan yang basah semakin basah, yang kering semakin kering. Kawasan selatan di Asia dan Afrika mendapat total hujan lebih sedikit seperti di Basin Mediterania dan Sahel. Sementara itu, sebagian daerah tropis dan lintang yang lebih utara menerima presipitasi lebih banyak. Daerah bersalju kini didera hujan. Pengurangan bantalan salju membebani kawasan yang bergantung lelehan gletser musim kemarau. Curah hujan yang lebih lebat meningkatkan bencana banjir seperti di Asia Selatan musim panas lalu, mengusir 40 juta orang dari rumahnya. Di negara bagian Bihar India utara, hujan turun 20 hari berturut-turut, mencurahkan satu meter air. Pekerja bantuan bencana dan personel militer melakukan penyelamatan melalui udara. Menurut penduduk, itulah banjir terburuk sepanjang ingatan mereka.

Efek Jarak

Perubahan cara kita mengolah tanah bisa mengubah pola iklim berskala luas secara mengejutkan. Sekitar 60 persen hujan badai dunia terjadi di dataran tropis dan memindahkan air dan energi dalam jumlah besar ke atmosfer bagian atas, yang kemudian terbawa hingga ribuan kilometer. Deforestasi di hutan tropis yang luas bisa mengurangi hujan badai setempat, dengan dampak tak langsung pada pola cuaca di daerah yang jauh.

Hujan badai tropis membawa uap air dan energi ke troposfer. Pola sirkulasi atmosfer yang disebut sel Hadley mengumpankan energi hujan badai ke aliran jet subtropis, yang membawanya ke lintang yang lebih tinggi.

Uap air dan energi yang berasal dari daerah tropis bisa masuk ke arus jet kutub dan mengubah polanya, mempengaruhi cuaca di seluruh belahan bumi utara.

Kekeringan dan banjir

Para ilmuwan menemukan perubahan jumlah, intensitas, frekuensi, dan jenis presipitasi di seluruh dunia. Hal yang lebih mengejutkan, beberapa kawasan dengan hujan lebih sedikit setiap tahun bisa jadi mengalami badai dahsyat saat hujan tiba: kekeringan dan banjir di tempat yang sama.

Udara yang lebih panas menyimpan lebih banyak uap air dan meningkatkan penguapan, membuat tanah menjadi gersang. Peningkatan uap air menambah bahan bakar bagi badai, mempertinggi kemungkinan hujan lebat. Hujan deras meningkatkan banjir, limpasan air, dan erosi. Kadang membuat tanah lebih kering. Kematian tanaman bisa membuatnya lebih gersang.

!break!

"Permafrost" yang mencair

Amat manusiawi jika kita berasumsi—terkadang bertolak belakang dengan bukti yang ada—bahwa semua akan berjalan sebagaimana yang kita ketahui selama ini. Bahkan para ilmuwan pun terjangkiti kecenderungan ini saat mereka membuat perkiraan iklim masa depan, kata Steven Wofsy dari Harvard. "Orang-orang dalam dunia pemodelan iklim sering cenderung berpikir linier," ujar Wofsy. Contohnya, jika diketahui jumlah tertentu karbon di atmosfer mengaki-batkan kenaikan suhu satu derajat Celsius, sepertinya masuk akal untuk mengira, penambahan jumlah yang sama meningkatkan suhu satu derajat juga.

Sayangnya, dunia tak seperti itu. "Ketika terjadi perubahan, biasanya tidak terjadi secara linier, namun bersifat bencana," kata Wofsy.

Klimatologi memiliki beberapa skenario menakut-kan, termasuk keruntuhan lapisan es dan kekacauan arus laut utama. Istilah umumnya: umpan balik positif.Salah satu skenario terburuk yang mungkin terjadi adalah mencairnya materi organik yang terkurung dalam tanah beku di bawah lanskap Arktika, seperti di Kanada bagian utara, dengan jumlah amat besar. Siklus mencair dan membeku itu umum di permukaan, menciptakan pola poligon Arktika yang khas. Namun, saat pemanasan di utara melewati ambang tertentu, para ilmuwan khawatir materi organik yang terkubur akan terurai dalam jumlah besar dan mele-paskan terutama metana, gas rumah kaca yang lebih ampuh memerangkap panas dibanding CO2. Pemanas-an rumah kaca atmosferis bumi akan lebih intensif. Kontribusi karbon manusia melalui pembakaran bahan bakar fosil mungkin kecil—namun cukup untuk meng-ubah keseimbangan menuju perubahan iklim tak terkendali. Ilmuwan menduga skenario itu terjadi di zaman Permian 250 juta tahun lalu, mengakibatkan kepunahan 95 persen spesies di Bumi. "Umpan balik positif paling menakutkan dalam pandangan saya," kata klimatolog NOAA Pieter Tans. "Artinya perubahan iklim berkembang sendiri. Di titik tertentu, hampir tak ada yang bisa kita lakukan untuk menghentikannya."

Pencairan melepaskan cadangan karbon

Di wilayah bersuhu dingin ekstrem, tanah beku abadi (permafrost) hingga ratusan meter ada di bawah lapisan aktif setebal satu meter yang membeku dan mencair seiring musim. Tanaman hanya tumbuh di lapisan ini.

Di tempat yang rata-rata suhu tahunannya hanya sedikit di bawah titik beku, permafrost berhenti terbentuk atau timbul sesekali, tertutup lapisan aktif tebal, hingga tiga meter.

Gas rumah kaca yang lepas saat zat organik mencair dan terurai bisa menambah 800 miliar metrik ton gas rumah kaca yang ada di atmosfer.

Permafrost, yang kini mengalami musim dingin yang lebih singkat dan ringan, memiliki lapisan aktif yang lebih tebal dan hangat. Karbon dalam zat organik pada bagian permafrost yang letaknya lebih tinggi diperkirakan berkisar antara 500 miliar hingga 1.000 miliar metrik ton. Kehangatan meningkatkan aktivitas mikroorganisme yang mempercepat penguraian materi organik dan secara potensial, pelepasan CO2 dan metana ke atmosfer.

Kekeringan meluas

Lumpur yang retak dan "tanda muka air" pada dinding ngarai menandai penyurutan Danau Powell—reservoir penting bagi bagian barat daya Amerika Serikat. Daerah itu belum lepas dari cengkeraman kemarau berkepanjangan yang mengakibatkan aliran air ke Sungai Colorado berada di bawah rata-rata setiap tahun sejak 1999. Hanya di tahun 1999 itulah terakhir kali danau ini terisi penuh. Kemarau panjang diperkirakan akan lebih sering terjadi seiring memanasnya Bumi.

Aliran lelehan es tercurah dari lapisan es Greenland, tempat para peneliti menyelidiki proses fisik di balik rangkaian lelehnya gletser dan lapisan es secara global. Dalam dunia yang semakin panas, pelelehan es memang sudah diperkirakan. Yang mengejutkan adalah tingkat kelajuannya. Walaupun kecil kemungkinannya terjadi pada abad ini, keruntuhan lapisan es baik di Greenland maupun Antartika akan menaikkan permukaan air laut setinggi enam meter, menenggelamkan banyak garis pantai.

Buku Robert Kunzig, Fixing Climate, yang ditulis bersama Wallace Broecker, akan diterbitkan tahun ini.