Mereka adalah anggota yang terlibat dalam pemberontakan petani Tambun pada 1869 yang masih tersisa. Tetapi kabar eksekusi ini hanya sedikit diberitakan oleh media masa itu, seperti koran Batavia bernama Bintang Barat.
Klaas Stutje, sejarawan dari Rijksmuseum Amsterdam dalam diskusi di jurnal International Review of Social History (2019), mengatakan pemerintah Hindia Belanda telah lama menggunakan Pulau Nusakambangan sebagai tempat eksekusi hukuman mati. Tujuannya, demi mengubah lingkungan kolonial yang lebih baik, dengan tambahan citra seram yang digambarkan jurnalis dan penulis dari berbagai persuasi politik.
Sementara peneliti hukum Utrecht University Christien Bruinink-Darlang, dalam disertasi Hervormingen in de koloniale periode. Verbeteringen in het Nederlands-Indisch strafstelsel in de periode 1905-1940, menulis alasan Belanda membiarkan tanah koloninya masih menerapkan hukum tersebut lantaran alasan keamanan. Selain itu, orang yang hidup di tanah jajahan masih dianggap belum pantas untuk penghapusan.
Baca Juga: Pedofilia Semasa Hindia Belanda yang Sering Disamakan Homoseksual
Sejak 1907, eksekusi hukuman mati, baik digantung atau ditembak, tidak lagi dilakukan di depan umum seperti yang terjadi pada Delapan Jagal Tambun. Meski secara hukum orang Eropa bisa mendapatkan hukuman mati, tetapi dalam praktik sering dijatuhkan kepada pribumi.
Pada 1917, sebuah komite bernama Centraal Comité tot voorkoming van de handhaving der doodstraf in het nieuwe wetboek van Strafrecht voor Nederland-Indië en tot verbetering van het Indische Strafstelse, mengajukan petisi kepada Ratu Belanda untuk menghapus hukuman mati di Hindia.
Mereka, dalam buku Bruinink-Darlang, menemukan ketidakadilan lainnya yakni, orang yang tidak bersalah bisa mendapatkan hukuman gantung karena masalah bahasa dan "saksi pribumi yang tidak dapat diandalkan." Seolah, masyarakat asli Hindia Belanda dipandang tidak beradab dalam perkara hukum.
Baca Juga: Ernest Douwes Dekker, Belanda-Jawa yang Meresahkan Hindia Belanda