Pencabutan kartu identitas penduduk yang dikenal sebagai kartu putih bagi orang Rohingya oleh Pemerintah Myanmar mungkin menjadi salah satu faktor yang membuat mereka nekat mempertaruhkan nyawa mengarungi laut.
Sekitar 300.000 lembar kartu putih, bukti terakhir yang menunjukkan mereka adalah warga Myanmar, sudah diminta kembali oleh pihak berwenang dan dinyatakan tidak berlaku sejak 31 Maret lalu.
Sebenarnya jika memiliki kartu itu, kelompok etnis Rohingya masih memiliki beberapa hak sebagai warga negara, antara lain boleh memberikan suara dalam pemilihan umum.
Mayoritas kelompok etnis Rohingya, yang jumlahnya 1,3 juta jiwa hingga 1,5 juta jiwa, tinggal di negara bagian Rakhine di dekat perbatasan antara Myanmar dan Banglades.
"Mereka sudah dianggap bukan warga negara, sekarang dokumen tidak ada," kata Utusan Khusus Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) untuk Myanmar, Tan Syed Hamid Albar.
"Bila tidak ada dokumen dan tidak ada tempat bagi mereka, bergerak pun tidak boleh. Pergi dari satu tempat ke tempat lain pun tidak boleh. Ada undang-undang yang menyekat pergaulan, yang bahkan menyekat cinta. Maka dari itu, mereka akhirnya mencari jalan," tambah mantan Menteri Luar Negeri Malaysia itu.
!break!
Perjalanan dua bulan
Karena dipinggirkan di negeri sendiri, warga etnis Rohingya memutuskan untuk meninggalkan Myanmar. Mereka menumpang kapal-kapal yang diduga dikendalikan jaringan penyelundup manusia dengan tujuan utama Malaysia.
Pulau Langkawi, Malaysia, didarati 1.107 pengungsi Rohingya dan migran Banglades, yang kemudian ditempatkan di Pusat Detensi Imigrasi Belantik, Negara Bagian Kedah.
Sekitar 1.800 orang lainnya diselamatkan di Aceh melalui tiga gelombang. Ribuan orang lainnya diperkirakan masih berada di laut.
Bila dirunut, dari segi waktu, tampaknya terdapat korelasi antara jatuh tempo kartu putih dan tempo perjalanan para pengungsi yang mengaku berangkat kira-kira selama dua bulan.
Seorang anggota parlemen Myanmar dari kelompok etnis Rohingya, Shwe Maung, mengatakan, kartu putih dinyatakan tak berlaku setelah kelompok-kelompok nasionalis Buddha melontarkan protes keras pada Februari lalu. Padahal, pemerintah baru saja mengesahkan rancangan undang-undang yang menyatakan bahwa pemilik kartu tersebut mempunyai hak pilih.
Kala itu, Pemerintah Myanmar mengatakan akan membentuk komisi guna mengkaji persoalan kartu putih. Pencabutan kartu tersebut, tuturnya, jelas membuat warga Rohingya resah.
"Masih tidak jelas, jenis kartu apa lagi yang akan diberikan. Namun, belum ada lagi sampai sekarang," ujar Shwe.
!break!
Kerusuhan
Menyusul gelombang kerusuhan, termasuk pada tahun 2012, yang menewaskan setidaknya 200 orang, mereka ditempatkan di kamp-kamp pengungsi dan tidak diizinkan bekerja di luar lingkungan tempat tinggalnya. Pemerintah beralasan, lokalisasi dilakukan untuk melindungi warga Rohingya dari amukan massa.
Tanpa kartu putih, mereka dikhawatirkan akan ditangkap dan dimasukkan ke penjara menjelang pemilihan umum Myanmar yang dijadwalkan akan digelar pada Oktober-November. Demikian penjelasan seorang pemuka masyarakat Rohingya.
"Bila mereka tetap di Myanmar, mereka akan dimasukkan ke penjara. Keselamatan jiwa mereka terancam, dan hak pilih mereka sudah dicabut," kata Mohammad Sadek, pengurus Komite Pengungsi Rohingya Arakan (RARC) di Malaysia kepada BBC Indonesia.
"Oleh sebab itu, warga etnis Rohingya menganggap, sekarang waktu yang tepat untuk menyelamatkan diri," kata Sadek.
Rohingya oleh Pemerintah Myanmar dianggap sebagai pendatang dari Banglades, meskipun mereka secara turun-temurun tinggal di Rakhine. Belakangan, sikap Myanmar melunak terhadap krisis pengungsi di Asia Tenggara, menyusul berbagai tekanan, termasuk tekanan diplomatik yang dilakukan Indonesia dan Malaysia.