Pancasila Telah Dilupakan?

By , Senin, 1 Juni 2015 | 16:00 WIB

Istilah "Pancasila" memang masih sering disebut-sebut, baik oleh para politisi maupun akademisi, sebagai dasar legitimasi atau kritik sosial.

Universitas Gadjah Mada masih mempertahankan Pusat Studi Pancasila sebagai bagian dari Fakultas Filsafat walaupun pusat studi di IKIP Malang-yang dulu pernah terkenal itu-sekarang sudah tidak terdengar lagi suaranya. Namun, Pusat Studi Ekonomi Pancasila yang didirikan dan dulu dipimpin Prof Mubyarto sudah dibubarkan dan diganti dengan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan.

Dengan bubarnya Pusat Studi Ekonomi Pancasila, Pancasila tidak lagi dikembangkan sebagai sumber rekayasa sosial. Dahulu ini pernah dilakukan Ketua Bappenas Ginandjar Kartasasmita dalam mengembangkan daerah tertinggal berdasarkan Inpres Desa Tertinggal (IDT) yang dipimpin Prof Mubyarto sebagai penasihat Ketua Bappenas.

Pancasila diputus dari realitas

Oleh karena itu, sinyalemen "Pancasila telah dilupakan" memang ada indikasinya walaupun tidak sepenuhnya benar. Di lain pihak selalu timbul pernyataan bahwa Pancasila sebagai ideologi negara merupakan suatu pandangan yang sudah final, bahkan akhir-akhir ini disebut sebagai pilar pertama politik kebangsaan Indonesia.

Sementara itu, Yudi Latif telah menerbitkan buku yang dinilai sebagai masterpiece mengenai Pancasila yang menjadi dasar dari sebuah "negara paripurna". Dengan perkataan lain, dengan meminjam pengertian Francis Fukuyama, Pancasila adalah suatu "the end of history", sebagai puncak perkembangan pemikiran bangsa Indonesia yang sudah menjadi paradigma pemikiran, dalam arti pemikiran yang telah mendapatkan persetujuan dari komunitas akademis yang menjadi dasar legitimasi, kritik, maupun rekayasa sosial.

!break!
Refleksi seorang pengunjung yang melintas di pelataran Monumen Juang Pancasila, Bandung. Dalam peringatan hari proklamasi kemerdekaan, salah satu yang perlu dimaknai adalah keteguhan Pancasila sebagai dasar negara. (Priyadi Paripurnawan/Fotokita.net)

Namun, karena dianggap sebagai ideologi yang final, terkesan seolah-olah Pancasila tak bisa lagi diutak-atik oleh pemikiran kritis. Boleh dibanggakan, tetapi tak boleh dikritik. Maka, jadinya, "pintu ijtihad" seolah-olah telah tertutup dalam pengembangan pemikiran. Dengan perkataan lain, Pancasila sudah jadi "ideologi tertutup". Karena tabu dibicarakan dalam pemikiran kritis yang melahirkan proses dialektika, sementara itu masyarakat Indonesia dan dunia terus berkembang dan berubah, maka Pancasila seolah-olah terputus dari realitas sehingga dirasakan tidak relevan lagi untuk dibicarakan.

Dari situlah, Pancasila seolah-olah telah dilupakan. Apalagi Pancasila tidak lagi diteorisasikan jadi sumber rekayasa sosial. Alhasil timbul kesan seolah-olah Pancasila tidak lagi hadir sebagai solusi terhadap permasalahan masyarakat karena Pancasila tak lagi dikembangkan secara historis kontekstual. Dengan perkataan lain, ia telah kehilangan relevansinya.

Oleh karena itu, wacana mengenai gagasan Pancasila perlu dihidupkan lagi guna menghadirkannya kembali di tengah-tengah masyarakat kiranya perlu dipertimbangkan. Belum tentu gagasan ini bisa diterima mengingat bisa timbul kekhawatiran tertentu. Ketika Mubyarto memperkenalkan gagasan teori dan sistem Ekonomi Pancasila, banyak cendekiawan yang menanggapinya secara skeptis. Misalnya, Prof Sarbini Sumawinata menganggap Ekonomi Pancasila sebagai angan-angan yang tidak konkret jika ditanyakan bagaimana implementasinya dalam kebijakan publik. Arief Budiman juga menilai bahwa gagasan teori Ekonomi Pancasila itu kabur karena tidak didasarkan pada teori tentang manusia.

Kritik senada ditulis Sjahrir dan Nono Anwar Makarim. Kesemuanya diasosiasikan sebagai "orang-orang sosialis". Bahkan Sri-Edi Swasono, yang didukung para teknokrat FEUI, lebih suka menyebut Demokrasi Ekonomi sebagai sistem ekonomi Indonesia, yang kemudian-atas perintah Presiden Soeharto-dijabarkan prinsip-prinsipnya oleh Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI).

Karena itu pula, dalam rangka konkretisasi gagasan, Prof Sarbini sebagai tokoh PSI dari kalangan akademisi itu meluncurkan gagasan "Ekonomi Kerakyatan" sebagai pemikiran politik ekonomi untuk memberantas kemiskinan dengan trilogi pembangunan perdesaannya, yaitu program pembangunan infrastruktur, industrialisasi , dan monetisasi pedesaan, tetapi tanpa menyebut Pancasila sebagai sumber legitimasi. Mubyarto sendiri, dalam responsnya, mengembangkan Ekonomi Pancasila sebagai pembangunan ekonomi rakyat, terutama di desa-desa tertinggal.

Di bidang politik, pengalaman pahit dialami pula oleh konsep "Demokrasi Pancasila". Para pemikir Barat pernah menyebutnya sebagaimana "Demokrasi Rakyat" sebagai konsep unusual democracy atau demokrasi yang tidak lazim karena yang lazim adalah demokrasi liberal. Demokrasi Pancasila adalah istilah lain dari "Demokrasi Terpimpin", yaitu demokrasi yang dipimpin oleh rezim otoriter atau pemerintahan "diktator proletariat" dan di Indonesia oleh "Pemimpin Besar Revolusi". Di situ pengertian "terpimpin" dianggap bertentangan dengan esensi demokrasi itu sendiri. Padahal, yang dimaksud dengan Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang dipimpin oleh nilai-nilai Pancasila.

!break!
Di Pulau Flores yang sepi, aku menghabiskan waktu berjam-jam lamanya di bawah sebatang pohon. Merenungkan ilham yang diturunkan Tuhan, yang dikenal dengan pancasila." ujar Soekarno dalam buku yang ditulis Cindy Adams. Sekarang di Taman Rendo, Ende didirikan patung Soekarno nan kaya akan nilai sejarah. (Yunaidi/National Geographic Traveler)

Pancasila sebagai kritik sosial