Pancasila Telah Dilupakan?

By , Senin, 1 Juni 2015 | 16:00 WIB

Dari pengalaman historis itu, menghidupkan kembali wacana tentang Pancasila mengandung risiko. Di masa Reformasi, Pancasila sebagai suatu gagasan memang cenderung dibekukan, dipeti-eskan, dimasukkan ke dalam museum pemikiran atau, meminjam istilah Ulil Abshar-Abdalla, dijadikan sebagai "monumen" atau "tugu". Jika Pancasila itu disebut sebagai suatu ideologi, maka sebuah ideologi itu, menurut Weber-Rodinson, mengandung tiga komponen: spirit, mentalitas, dan lembaga. Spirit bisa menggerakkan seseorang atau masyarakat. Mentalitas tecermin dalam perilaku. Adapun lembaga terkandung dalam suatu sistem, misalnya sistem politik dan sistem ekonomi. Pemikiran kritis akan mempertanyakan realitas atau kehadiran dari tiga komponen ideologi itu.

Karena itu, menghidupkan kembali wacana mengenai Pancasila memerlukan pemahaman, yang dalam epistemologi Wallersteinian adalah melalui pendekatan ilmu-ilmu sosial transdisiplin, terutama antropologi, sosiologi, ekonomi, politik, dan sejarah. Dengan pendekatan itu, Pancasila perlu diwacanakan sebagai kritik sosial. Dari kritik sosial terhadap kondisi dan permasalahan Indonesia dan dunia, akan terbuka kemungkinan untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar rekayasa sosial.

Dengan teori komunikasi aktif Juergen Habermas, umpamanya, Demokrasi Pancasila dapat dipahami sebagai sistem demokrasi deliberatif sebagaimana telah dijelaskan Frans Budi Hardiman dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Dengan menggunakan teori geoekonominya Samir Amin, seorang ekonom Mesir terkemuka di dunia, umpamanya, Ekonomi Pancasila dapat ditafsirkan sebagai gagasan ekonomi perlawanan atau pembebasan terhadap sistem dunia kapitalis yang eksploitatif terhadap kawasan pinggiran oleh pusat metropolitan dunia di Amerika Serikat dan Eropa. Dari kritik sosial itu, bisa dipahami gagasan yang dilontarkan Presiden Joko Widodo mengenai "membangun dari pinggiran" yang dapat dilaksanakan sebagai rekayasa sosial.

!break!

Dari teori sistem dunia kapitalis bisa dilakukan pemahaman yang lebih baik tentang "Kesejahteraan Sosial" sebagai sistem ekonomi Indonesia. Sri-Edi Swasono pernah menjelaskan makna Pasal 33 dan 34 UUD 1945 sebagai "Doktrin Kesejahteraan Indonesia" dengan menguraikan evolusi dan revolusi pemikiran ekonomi sejak Adam Smith hingga krisis moneter 2008 sebagai gejala "the end of laissez faire". Sementara itu, Subiakto Tjakrawerdaya, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah terakhir di masa Orde Baru, juga menjelaskan bahwa koperasi adalah sistem ekonomi Indonesia yang bertujuan untuk mencapai "kesejahteraan sosial" sebagai ciri utama sistem ekonomi Pancasila.

Banyak teori dan penjelasan mengenai pengertian "kesejahteraan". Misalnya pemikiran Machiavelli; aliran "Negara Kesejahteraan" yang dipelopori Otto von Bismark, Kanselir Prusia pada akhir abad ke-19; aliran sistem pasar sosial Jerman sesudah Perang Dunia II, atau menurut Mahbub ul-Haq yang dikembangkan di UNDP, dan terakhir menurut Amartya K Sen yang mengusulkan indikator kesejahteraan itu.

Namun, hingga sejauh ini belum ada yang menjelaskan konsep kesejahteraan dalam kaitannya dengan sistem koperasi sebagaimana disebut dalam Pasal 33 UUD 1945 dan sila kelima Pancasila, yaitu "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia". Padahal, menurut Mubyarto, koperasi merupakan sendi ketiga sistem Ekonomi Pancasila. Karena itu, ada kebutuhan konkret yang mendesak untuk mewacanakan kembali Pancasila dalam pemikiran kritis dan transdisiplin. Dari wacana itu bisa lahir teori, misalnya, mengenai "Sistem Dunia Pancasila" yang merupakan suatu model masyarakat Indonesia berdasarkan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia.

* Artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Juni 2015 dengan judul "Pancasila Telah Dilupakan?".