Psikologi Tersembunyi Saat Mencoblos

By , Rabu, 3 Juni 2015 | 10:30 WIB

Musim kampanye, bagi banyak orang, adalah musim untuk membaca dan mencermati calon dan berbagai program kerja yang ditawarkan oleh partai-partai politik.

Buku, majalah, atau selebaran dicetak dan disebar dengan harapan calon atau program kerja terbaik di bidang ekonomi, kesehatan, atau pendidikan akan menjadi pertimbangan utama para pemilih.

Tapi apakah asumsi ini sepenuhnya benar? Apakah kita mencoblos berdasarkan pertimbangan yang logis?

Jawabannya bisa jadi tidak karena soal pilihan atau coblosan ini, kita tidak sepenuhnya mendasarkannya pada otak, logika, atau alam sadar.

Penelitian ilmiah menunjukkan ada faktor-faktor lain yang berperan, mulai dari sikap jijik kita, apakah kita sedang takut atau tidak, cuaca, hingga hasil-hasil pertandingan atau perlombaan olahraga.Perubahan yang tak kentara

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa apa pun keputusan yang kita ambil, itu dipengaruhi oleh proses pemikiran bawah sadar, emosi, dan prasangka.

"Apa yang kita tahu dari kajian psikologis selama 50 tahun adalah kita bisa membagi otak menjadi dua bagian," kata Jon Krosnick, guru besar ilmu politik di Universitas Stanford.

"Bahkan kita bisa mengatakan bahwa semua pengambilan keputusan adalah proses alam bawah sadar," kata Krosnick.

Ia menjelaskan saat dilangsungkan debat antarcalon, para pemilih tidak semata-mata mencermati apa yang ditawarkan para calon tersebut. Ada faktor lain yang tidak kalah menentukan.

!break!

Glori K Wadrianto/KOMPAS.com

Krosnick memberi contoh pemilihan presiden di Amerika Serikat pada 2008, yang diikuti oleh Barack Obama dan John McCain. Ternyata banyak pemilih yang lebih terpengaruh oleh faktor etnik.

Orang-orang yang memiliki prasangka ras, yang biasanya tidak kita sadari, lebih kecil kemungkinannya memilih Obama.

Yoel Inbar, guru besar psikologi di Universitas Toronto, melakukan juga kajian tentang faktor-faktor tersembunyi yang mempengaruhi keputusan seseorang di pemilihan umum.