Kisah dari Secangkir Kopi Toraja

By , Kamis, 4 Juni 2015 | 19:15 WIB

Apa cerita yang bisa diungkap dari secangkir kopi?

Berkenalanlah dengan Sulaiman Miting, 66. Dia dan kopi buatannya bisa bercerita banyak hal tentang perang kopi hingga nasib petani di kampungnya Toraja.

"Harga kopi terlalu murah, petani meninggalkan kebunnya. Nanti, kopi Toraja mungkin tinggal nama."

Begitulah Sulaiman Miting, 66, menjelaskan bagaimana kondisi tanah Toraja beberapa tahun lalu. Nama kopinya melejit, namun petani tak mendapat apa-apa.

"Pembeli menentukan harga," katanya.

Selama hidupnya, Sulaiman sering diminta menemani pengusaha dari dalam dan luar negeri untuk bertemu dengan para petani kopi.

Dari situlah dia tahu tahu jauhnya perbedaan harga beli di petani dan harga jual di kafe-kafe.

Pada 2011, dia bertemu dengan seorang petani kopi yang berubah beralih menanam sayur karena 'harga kopi terlalu murah'. Waktu itu, satu liter kopi kulit tanduk hanya dihargai sama dengan satu liter beras (sekitar Rp9.000).

Dari situlah, Sulaiman terpanggil untuk melakukan sesuatu. "Saya ingin mendekatkan petani dengan pembeli agar middle man jangan terlalu banyak bermain.

"Dari petani masuk ke pengumpul di pasar (pasambu), masuk tengkulak, eksportir, broker, baru sampai Starbucks di Seattle, dan konsumen."

Seorang penjual kopi Toraja di Rantepao, ibu kota Kabupaten Toraja Utara, menunjukkan jualannya. Selain dikenal karena produk kopinya, daerah ini juga merupakan pusat kebudayan etnik Toraja. (Purwo Subagiyo/National Geographic Indonesia)

Indonesia adalah penghasil kopi terbesar ketiga di dunia setelah Brasil dan Vietnam. Pada 2013, produksi kopi bisa mencapai 692.000 ton, menurut kementerian perindustrian.

Warung kopi Toraja