Lika-liku Konsep Islam Nusantara

By , Senin, 15 Juni 2015 | 09:15 WIB

Sebaliknya, pemikir Islam Azyumardi Azra mengatakan model Islam Nusantara atau Islam Nusantara dibutuhkan oleh masyarakat dunia saat ini, karena ciri khasnya mengedepankan "jalan tengah". 

"Karena bersifat tawasut (moderat), jalan tengah, tidak ekstrim kanan dan kiri, selalu seimbang, inklusif, toleran dan bisa hidup berdampingan secara damai dengan penganut agama lain, serta bisa menerima demokrasi dengan baik," kata Azyumardi Azra. 

Menurutnya, memang ada perbedaan antara Islam Indonesia dengan 'Islam Timur Tengah' dalam realisasi sosio-kultural-politik. 

"Sektarian di Indonesia itu jauh, jauh lebih kurang dibandingkan dengan sektarianisme yang mengakibatkan kekerasan terus-menerus di negara-negara Arab," jelasnya. 

Dimintai komentar atas pernyataan yang menyebut Islam itu tunggal, Azyumardi menyebutnya sebagai "pemikiran normatif yang melihat Islam secara idealistis." 

"(Mereka) tidak melihat kenyataannya, bagaimana Islam itu menjadi berbeda-beda, terutama aspek sosial budaya dan politiknya. Bahkan dalam tingkat agama juga berbeda-beda." 

Suasana di depan Masjid Menara Kudus seusai salat Jumat, 20 Januari 2012. Didirikan oleh Syekh Jafar Sodiq (Sunan Kudus) pada 1549, masjid ini selaras dengan arsitektur masa Hindu-Buddha dan hingga kini menjadi simbol akulturasi. (Hafidz Novalsyah/National Geographic Indonesia)

!break!

Berbeda dengan 'Islam Arab' 

Doktor lulusan Columbia University, Amerika Serikat, ini juga menyebut cara pandang "normatif dan idealistis atas Islam" itu sebagai "tidak historis". 

"Kalau kita lihat dari dulu hingga sekarang, memang ada perbedaan-perbedaan yang tidak bisa kita hindari," ujar penulis buku Islam Nusantara (2002) dan Islam Subtantif (2000) ini. 

Lebih lanjut Azyumardi menjelaskan, model Islam Nusantara itu bisa dilacak dari sejarah kedatangan ajaran Islam ke wilayah Nusantara yang disebutnya melalui proses vernakularisasi. 

"Vernakularisasi itu adalah pembahasaan kata-kata atau konsep kunci dari Bahasa Arab ke bahasa lokal di Nusantara, yaitu bahasa Melayu, Jawa, Sunda dan tentu saja bahasa Indonesia," katanya. 

Kemudian proses ini diikuti pribumisasi (indigenisasi), sehingga menurutnya, Islam menjadi embedded (tertanam) dalam budaya Indonesia. 

"Jadi, tidak lagi menjadi sesuatu yang asing. Karena itu, dalam penampilan budayanya, Islam Indonesia jauh berbeda dengan Islam Arab... Telah terjadi proses akulturasi, proses adopsi budaya-budaya lokal, sehingga kemudian terjadi Islam embeddded di Indonesia," jelas mantan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini. 

"Vernakularisasi itu adalah pembahasaan kata-kata atau konsep kunci dari Bahasa Arab ke bahasa lokal di Nusantara, yaitu bahasa Melayu, Jawa, Sunda dan tentu saja bahasa Indonesia," katanya. 

Kemudian proses ini diikuti pribumisasi (indigenisasi), sehingga menurutnya, Islam menjadi embedded (tertanam) dalam budaya Indonesia. 

"Jadi, tidak lagi menjadi sesuatu yang asing. Karena itu, dalam penampilan budayanya, Islam Indonesia jauh berbeda dengan Islam Arab... Telah terjadi proses akulturasi, proses adopsi budaya-budaya lokal, sehingga kemudian terjadi Islam embeddded di Indonesia," jelas mantan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini.