Tak hanya sosok Soekarno, beberapa peristiwa sejarah lainnya hingga kini menurut enam dari 10 responden juga belum terang informasinya. Peristiwa tentang Gerakan 30 September 1965 dan pembantaian massal yang mengikutinya hingga kini belum terungkap jelas. Meski ada buku Putih G30S 1965 yang dikeluarkan Sekretariat Negara 1994, banyak terbit buku lain yang berisi kesaksian korban dan keluarganya yang dibunuh ataupun dipenjarakan tanpa pengadilan oleh Orde Baru.
Kasus penculikan aktivis 1998, meski telah masuk pengadilan, masih menyisakan tanya tentang nasib 13 aktivis yang hingga kini belum diketahui keberadaannya. Setali tiga uang dengan kasus kerusuhan Mei 1998 dan pembunuhan Munir. Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) menyebutkan peristiwa kerusuhan dan pembakaran pusat perbelanjaan beserta orang-orang di dalamnya yang terjadi pada Mei 1998 sebagai sistematis, bahkan diduga ada yang menggerakkan. Demikian pula kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir pada 7 September 2004, juga dinilai publik belum tuntas.
Masih samar-samarnya sejumlah peristiwa sejarah itu, menurut sebagian besar responden, terkait dengan ketidakseriusan pemerintahan selama ini untuk membuatnya jelas. Ketidakpuasan responden ditujukan juga kepada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) yang selama 10 tahun berkuasa tidak berhasil membuka selubung beban sejarah tersebut. Sementara itu, separuh bagian responden merasa tidak yakin pemerintahan Joko Widodo akan mampu menyingkap tabir sejarah masa lalu yang masih mengundang kontroversi.
Berangkat dari berbagai skeptisisme atas kebenaran sejarah perjalanan bangsa, mayoritas publik (84,1 persen) tetap menyatakan pentingnya pengungkapan sejarah yang sesungguhnya. Tidak lain karena sejarah memberikan landasan bagi pemahaman anak bangsa terhadap kehidupannya sendiri.
* Artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Juni 2015 dengan judul "Memperjelas Sejarah Bangsa yang Samar".