Masih ada peristiwa sejarah Indonesia yang samar dan belum terungkap. Kontroversi tempat kelahiran Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia, adalah salah satunya. Kesimpangsiuran soal tempat kelahiran sang Bapak Bangsa dan ketidakjelasan sejumlah peristiwa sejarah lainnya menyiratkan pentingnya mengkaji kembali peristiwa sejarah Indonesia yang belum jelas.
Dalam masyarakat kita, publik lebih mengenal Soekarno seperti yang disebutkan di dalam buku pelajaran sekolah. Soekarno adalah presiden pertama RI, proklamator kemerdekaan RI, dan pahlawan nasional. Namun, pengenalan terhadap Soekarno sebagai pribadi, termasuk tempat kelahirannya, masih menuai kontroversi.
Hal itu terungkap dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas, pekan lalu, yang coba menggali sosok Soekarno menurut pandangan publik dan konteks sejarah yang menyertainya. Mayoritas responden menyebutkan Soekarno sebagai sosok seperti yang banyak ditulis di dalam buku pelajaran. Hanya sedikit responden yang menyebut Soekarno sebagai penggagas Pancasila atau peletak dasar bangsa.
Tak hanya sosok Soekarno, pengenalan publik terhadap ajaran-ajaran Soekarno juga sangat terbatas. Nasionalisme serta rela berkorban untuk negara dan bangsa merupakan gagasan dan nilai-nilai yang paling banyak disebut publik sebagai ajaran Soekarno. Namun, tak satu responden pun dalam jajak pendapat ini yang menyebutkan tentang marhaenisme sebagai gagasan yang diajarkan oleh Soekarno.
Minimnya pengetahuan masyarakat mengenai ajaran Soekarno tidak terlepas dari minimnya upaya pemberian materi tentang Soekarno di sekolah-sekolah. Enam dari 10 responden menyatakan materi mengenai sejarah Soekarno yang diberikan di sekolah masih belum memadai.
Di mana Soekarno dilahirkan sempat menjadi kontroversi. Ada dua versi tentang tempat kelahiran Soekarno, yaitu Blitar dan Surabaya, keduanya di Jawa Timur. Polemik ini kembali menghangat ketika pada peringatan hari lahir Pancasila 1 Juni 2015, Presiden Joko Widodo dalam pidatonya menyebut Soekarno dilahirkan di Blitar.
!break!Penyebutan Soekarno lahir di Blitar ditemukan dalam laman Tropenmuseum. Sumber ini dijadikan referensi pidato Presiden. Selain sumber tersebut, penyebutan Blitar sebagai tempat lahir Soekarno juga tercantum di buku-buku pelajaran sekolah.
Dalam seminar Pelurusan Sejarah Soekarno di Surabaya, 28 Agustus 2010, yang diikuti oleh para sejarawan dan politikus, disebutkan, Soekarno dilahirkan di Surabaya. Sejumlah literatur, termasuk buku biografi Soekarno sebelum 1970, tertulis Soekarno lahir di Surabaya.
Kesimpangsiuran soal tempat kelahiran Soekarno tergambar pula dari beragamnya pendapat publik dalam menyebut tempat lahir Sang Proklamator. Lebih dari separuh bagian responden menyebut Blitar sebagai kota tempat Soekarno lahir. Sementara itu, hanya dua dari sepuluh responden menyebut Kota Surabaya sebagai tempat kelahiran Soekarno. Jika menilik tingkat pendidikan responden, mereka yang menyebut Blitar sebagai kota kelahiran Soekarno cenderung lebih banyak dari kelompok pendidikan tinggi. Proporsinya mencapai separuh lebih responden.
Polemik tempat kelahiran Soekarno tidak berdiri sendiri. Empat dari 10 responden menyatakan, hal itu akibat dari upaya pengaburan sejarah Soekarno yang dilakukan Orde Baru. Alih-alih menggali lebih dalam sosok dan ajaran Soekarno, Orde Baru justru berusaha membatasi penyebarluasan pengetahuan tentang peran politik Soekarno.
Pelarangan buku-buku mengenai biografi Soekarno terjadi sejak dimulainya era Orde Baru. Pada saat itu, pemerintah mulai melakukan de-Soekarnoisasi, termasuk pelarangan memperingati hari lahir Pancasila pada 1 Juni 1945. Soekarno sebagai penggagas Pancasila juga dikaburkan.
Pengerdilan peran Soekarno dalam sejarah nasional Indonesia tampak pula dari penganugerahan gelar Pahlawan Nasional bagi Soekarno yang baru diberikan pada November 2012.
!break!Tidak serius
Tak hanya sosok Soekarno, beberapa peristiwa sejarah lainnya hingga kini menurut enam dari 10 responden juga belum terang informasinya. Peristiwa tentang Gerakan 30 September 1965 dan pembantaian massal yang mengikutinya hingga kini belum terungkap jelas. Meski ada buku Putih G30S 1965 yang dikeluarkan Sekretariat Negara 1994, banyak terbit buku lain yang berisi kesaksian korban dan keluarganya yang dibunuh ataupun dipenjarakan tanpa pengadilan oleh Orde Baru.
Kasus penculikan aktivis 1998, meski telah masuk pengadilan, masih menyisakan tanya tentang nasib 13 aktivis yang hingga kini belum diketahui keberadaannya. Setali tiga uang dengan kasus kerusuhan Mei 1998 dan pembunuhan Munir. Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) menyebutkan peristiwa kerusuhan dan pembakaran pusat perbelanjaan beserta orang-orang di dalamnya yang terjadi pada Mei 1998 sebagai sistematis, bahkan diduga ada yang menggerakkan. Demikian pula kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir pada 7 September 2004, juga dinilai publik belum tuntas.
Masih samar-samarnya sejumlah peristiwa sejarah itu, menurut sebagian besar responden, terkait dengan ketidakseriusan pemerintahan selama ini untuk membuatnya jelas. Ketidakpuasan responden ditujukan juga kepada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) yang selama 10 tahun berkuasa tidak berhasil membuka selubung beban sejarah tersebut. Sementara itu, separuh bagian responden merasa tidak yakin pemerintahan Joko Widodo akan mampu menyingkap tabir sejarah masa lalu yang masih mengundang kontroversi.
Berangkat dari berbagai skeptisisme atas kebenaran sejarah perjalanan bangsa, mayoritas publik (84,1 persen) tetap menyatakan pentingnya pengungkapan sejarah yang sesungguhnya. Tidak lain karena sejarah memberikan landasan bagi pemahaman anak bangsa terhadap kehidupannya sendiri.
* Artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Juni 2015 dengan judul "Memperjelas Sejarah Bangsa yang Samar".