Proses Kristenisasi dan Islamisasi Sulawesi Selatan yang Beriringan

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Kamis, 18 November 2021 | 16:00 WIB
Sultan Hasanuddin dimakamkan di komplek makam Raja Gowa. Ada cerita panjang penyebaran agama Islam dan Kristen di Sulawesi Selatan yang berlangsung damai. (Gloria Samantha)

Selain itu, kristenisasi sebenarnya telah tiba sebelum islamisasi, tepatnya tahun 1538 oleh kalangan jesuit lewat Panther Manule d'La Costa.

Sosok ini sebelumnya pernah mengadakan pertemuan dengan bangsawan Gowa dan pihak pihak Portugis yang sudah ada di Ternate pada 1537.Catatan Portugis melaporkan bahwa banyak bangsawan Gowa menerima masuknya agama Kristen, dan tak sedikit dari mereka yang memeluknya.

Satu dekade berikutnya, Antonie de Payva yang merupakan pedagang dan misionaris Portugis dari Malaka menyambangi Suppa dekat Pare-Pare selama tiga tahun. De Payva mendapat mandat dari Gubernur Portugis di Ternate untuk menyebarkan Katolik, dan berhasil mengajak raja Suppa dan Siang (daerah Pangkep) pindah agama bersama penduduknya.

Baca Juga: AMRI, Gelora Pemuda Bantaeng Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia

Kabar Datu Suppa la Makkarawie--raja Suppa--menjadi kabar baik untuk Portugis, yang kemudian diberi nama Don Luis. Sementara raja Siang, juga dibaptis dan diberi nama dengan Don Juan (Joao).

"Namun agama Katholik setelah itu justru semakin kehilangan pengaruhnya. Payva sempat mencatat bahwa misi Katolik yang diembannya mendapat banyak hambatan dari para pedagang Melayu Muslim yang lebih dahulu bermukim di wilayah kerajaan Siang," tulis Agussalim.

Salah satu kasusnya waktu seorang misionaris Portugis mencoba mengkristenisasi raja Gowa I Mangngarangi Daeng Manrabbia.

Ketika diajak pindah agama dari kepercayaan leluhurnya, dia mengatakan, "Saya belum mau mengganti agama saya yang lebih dahulu ada di negeri ini, tetapi jika saya mau mengganti agama saya, nanti saya akan panggil pendeta (dai Islam) Melayu supaya saya dapat bandingkan."

Setelah itu, dia justru memeluk agama Islam yang digelari Sultan Alauddin, raja ke-14 yang berkuasa sejak 1593, dan menjadikannya sebagai agama resmi kerajaan.

Baca Juga: Spesies Baru Kumbang di Sulawesi Dinamakan Unyil, Gundala, dan Corona

Dua lelaki Bugis, karya J.H. Maronier, sekitar 1800. (KITLV)

Kendala lainnya penyebaran agama Kekristenan di Sulawesi Selatan juga karena penyebarannya langsung dari Portugis. Berbeda dengan agama Islam, yang memang dari etnis Melayu yang lebih diterima di kerajaan Gowa.

Etnis asing yang diterima adalah yang serumpun seperti Jawa, Sumatra, dan Malaka yang telah datang di Somba Opu sejak raja Gowa kesembilan Tumpa'risi Kallona berkuasa, di abad ke-15. Posisi orang Melayu mendapatkan posisi istimewa berdasarkan Lontarak Patturiolonga Gowa semasa pemerintahan Tunipalangga (1546-1565), raja ke-11.

Bersamaan dengan orang Melayu, etnis serumpun seperti Patani, Pahang, Champa, dan Johor juga menetap di Somba Opu pada masa itu. Mereka mendapat kebebasan untuk menjalankan agama Islam di kerajaan. Meski saat itu raja Gowa sendiri belum ada yang masuk Islam hingga Sultan Alauddin berkuasa.

Penyebaran Islam kemudian berjalan secara formal di Sulawesi Selatan, tulis Agussalim, terutama ketika Sultan Ternate Baabullah mekukan perjanjian dengan Raja Gowa Tunijallo untuk menyerahkan Selayar ke tangan Gowa 1580.

Tunijallo sebagai penguasa ke-12 Gowa memang dikenal dekat dengan penguasa-penguasa Islam di Nusantara, termasuk raja-raja di Jawa, Johor, Malaka, Pahang, Banjar, dan Maluku.

Baca Juga: Alat Berburu dan Meramu Masyarakat Sulawesi pada Ribuan Tahun Lalu

Halaman berikutnya...