Potret Kelam Paviliun Irak di Festival Seni Venesia

By , Jumat, 19 Juni 2015 | 18:00 WIB

Paviliun Irak pada Venice Biennale 2015 tidak beranjak dari konflik yang sedang berlangsung, lewat penampilan sejumlah karya seni tentang kelompok yang menamakan diri Negara Islam atau ISIS.

Sementara milisi ISIS terus bergerak maju ke arah Baghdad, seni kontemporer mungkin menjadi hal terakhir yang ada di benak kebanyakan orang Irak.

Tetapi beberapa seniman berbakat Irak tetap bekerja menentang pertumpahan darah yang melanda negara mereka sejak Saddam Hussein digulingkan.

Itulah yang saya temukan saat mengunjungi paviliun Irak pada Venice Biennale ke-56.

Di bawah pengaturan Ruya Foundation for Contemporary Culture di Irak, Philippe Van Cauteren, direktur artistik Museum for Contemporary Art di Ghent menjadi kurator pameran.

Untuk memilih lima seniman dalam pameran, Van Cauteren mengunjungi Amerika, Belgia, Turki dan Inggris disamping Irak sendiri.

Di Irak, dia mengatakan kepada saya, dirinya menemukan kegiatan seni kontemporer terkungkung yang ditandai dengan kesempitan cara pandang dan konservatisme.

"Selama penelitian, saya mengunjungi seniman di Baghdad dan menemukan sebagian besar karya seni Irak berbentuk lukisan indah yang tidak mewakili kenyataan tentang apa yang terjadi di negaranya," jelas Van Cauteren.

"Para pelukis ini diarahkan keindahan dan nostalgia. Tetapi saya memandang, hal ini sangat tidak menarik. Saya tidak bisa memahami mengapa seorang seniman yang tinggal di sebuah negara dengan kerumitan yang ada di Irak, berkeinginan melukis bunga, Tigris atau jalan-jalan Baghdad," katanya.

"Saya mencari 10% seniman yang memiliki keberanian bergaul dengan keadaan sekarang."

!break!

Haider Jabbar

Sebagai hasilnya, seniman yang Van Cauteren akhirnya pilih untuk pameran adalah karya seni yang keras, tajam dan sulit dilupakan.

Dia menamakannya Keindahan Terselubung atau Invisible Beauty karena tidak diketahui keberadaannya oleh bahkan orang Barat yang memiliki cukup banyak informasi.

Ambil contoh saja lukisan cat cair pelukis muda kelahiran tahun 1986, Haider Jabbar, yang brutal dan menghantui.

Dilukis berdasarkan ingatan seniman ini tentang kejadian mengejutkan yang ia saksikan, tercipta serangkaian lukisan kepala terpenggal sejumlah pemuda yang sebagian besar tertutup matanya, berdarah.

Masing-masing mewakili korban yang berbeda dari konflik yang melanda Irak dalam beberapa tahun ini, dan Jabbar berencana melukis 2,000 buah.

Digantung pada dinding istana abad ke-16 yang indah di pinggir Grand Canal Venesia, karya seni ini terlihat dingin, mengingatkan tentang perlunya segera didapat jalan keluar damai bagi konfik Timur Tengah.

Meskipun Jabbar akhirnya terpaksa meninggalkan tanah airnya karena konflik, pria yang menjadi pengungsi Turki ini tetap akrab dengan keadaan kehidupan seniman di Irak.

"Tidak mudah bekerja sebagai seniman kontemporer di Irak," kata Jabbar lewat email.

"Tetapi bertahan hidup adalah tantangan terbesar."

Akam Shex Hadi

Invisible Beauty juga memamerkan fotografi Irak.

Lewat serangkaian 28 foto baru hitam putih yang khusus dibuat untuk paviliun Irak, Akam Shex Hadi, kelahiran tahun 1985, menampilkan foto warga Irak yang kehilangan tempat tinggal berdiri di depan berbagai latar belakang.

Masing-masing foto juga dilengkapi selembar kain hitam yang "mengulari" komposisi dan mengelilingi subjek foto seperti tali tiang gantung. Menurut Shex Hadi, tali hitam tersebut mewakili bendera ISIS.

Ketika Ruya Foundation for Contemporary Culture menghadapi kritik karena hubungannya dengan dinasti Irak yang kontroversial, paviliun negara itu menampilkan pameran yang disambut positif.

Tampil di Venice Biennale adalah penting bagi seniman Irak seperti Shex Hadi karena ini adalah cara untuk menemukan penggemar karyanya, sesuatu yang tidak terjadi di negara asalnya.

"Tidaklah mudah berkarier sebagai seniman di Irak," katanya kepada saya," karena warga Irak tidak memiliki cukup pengetahuan tentang seni kontemporer."

"Tantangan paling sulit adalah pandangan masyarakat, orang tidak paham, sehingga karya saya diperlakukan negatif, karena hanya sedikit yang menghargai," kata Hadi.

"Di negara yang sedang menderita krisis seperti Irak, kebudayaan dan seni yang paling menderita. Hanya seniman yang menghargai seni."

!break!

Latif Al Ani

Tentu saja hal ini tidak selalu terjadi. Coba saja lihat gambar elegan buatan Latif Al Ani yang lahir pada tahun 1932.

Dia dipandang sebagai "pendiri fotografi Irak". Pada tahun 1950-an dan 60-an, dia sukses berkarier sebagai fotografer seni rupa.

Di tahun 1963, pameran solo yang terdiri dari 105 foto buatan Al Ani dipertunjukkan di Amerika Serikat.

Banyak foto-fotonya mendokumentasi perubahan Irak menjadi modern pada pertengahan abad.

Salah satu contohnya, foto seorang wanita pesolek mengenakan kacamata hitam sedang tersenyum berdiri di jalan bebas hambatan sementara seorang penggembala lewat.

Tetapi Al Ani juga bangga terhadap warisan kuno negaranya.

Sejumlah fotonya mencatat monumen arkeologis. Foto-foto ini terasa lebih berharga sekarang karena tindakan milisi ISIS menjarah dan merusak situs arkeologi di Timur Tengah.

"Sumeria, Babylonia, sampai Abbasidia, semua monumen dan seni yang mereka ciptakan, membuat saya bangga," kata Al Ani pada katalog Invisible Beauty.

"Irak memiliki sejarah yang menakjubkan. Kebudayaan ini muncul silih berganti, peradaban demi peradaban, dan mereka ada di semua wilayah Irak, di utara dan selatan ... kemudian kemunduran terjadi. Saya berharap kita bisa kembali ke peradaban."

Di tengah gerak maju ISIS, ini mungkin suatu harapan yang terlalu muluk.

Meskipun demikian, cukup menyayat hati mendengar seniman Irak yang berani berpameran di Venesia tetap siap memperjuangkan peradaban.