Kenangan Menyakitkan Selalu Teringat, Mengapa?

By , Sabtu, 20 Juni 2015 | 19:00 WIB

Ambil pelajaran

Bagaimana dengan pengalaman negatif? Mengapa ini juga sulit untuk dilupakan?

Sebenarnya ada alasan mengapa kita sulit melupakan pengalaman buruk.

Bukankah kita bisa belajar banyak dan juga menggunakan pelajaran ini untuk mencegah pengalaman serupa terulang di masa depan?

Contoh kecil, ketika kita secara tidak sengaja menyenggol panci panas di dapur, kita akan lebih berhati-hati lagi ketika memasak di lain kesempatan.

Namun, tentu saja ada manfaatnya bila kita bisa melupakan rasa sakit, misalnya bagi mereka yang punya kondisi kronis yang disebabkan oleh diabetes.

Itu bisa dicapai berkat aktivitas kita di tingkat molekuler, kata para ahli yang melakukan kajian dalam beberapa tahun ini.

Para ilmuwan di Amerika Serikat mengklaim bahwa molekul PKMzeta bisa memicu sensitivitas fisik setelah terjadi pengalaman yang menyakitkan.

Dengan menggunakan tikus mereka menunjukkan bahwa jika molekul di tulang belakang ini diblokir, maka para ilmuwan bisa menghapus sensitivitas ekstra yang dipakai tikus untuk merasakan rasa sakit.

Namun tak semua ilmuwan sepakat karena tikus yang lahir tanpa PKMzeta tetap saja bisa merasakan sakit.

Bagaimana dengan rasa sakit yang diakibatkan oleh prosedur medis?

Aspek etis

Ketika menjalani prosedur medis tertentu, kadang pasien diberi obat midazolam yang bisa mengurangi resah atau gelisah yang dialami pasien.

Selain itu, obat ini bisa mencegah kita menyusun memori baru. Harapannya adalah kita tidak akan mengingat rasa sakit yang diakibatkan oleh prosedur medis yang kita jalani.

Tapi tidak semua ilmuwan setuju dengan penggunaan midazolam.

Andrew Davidson, ahli pembiusan dari Australia, mengatakan obat seperti midazolam bisa meninggalkan memori implisit, atau memori yang akan terus-menerus bersama kita, namun kita tak bisa mengingat kembali memori tersebut.

Misalnya kita bisa mengancingkan baju atau berjalan dari tempat A ke B tanpa kita pernah tahu kapan kita membuat memori-memori ini.

Karena memori implisit ini pula, orang yang tidak ingat pernah menjalani kolonoskopi –pemeriksaan usus dengan menggunakan tabung atau pipa yang dimasukkan melalui anus- mungkin merasa aneh atau merasa sakit ketika melihat pipa air yang dipakai untuk menyirami tanaman.

Tak mengherankan jika debat soal etis tidaknya pemakaian obat seperti midazolam diperkirakan akan terus terjadi di masa depan.

Fakta bahwa ada dokter yang ingin memanfaatkan midazolam menggarisbawahi anggapan bahwa memang kenangan atau memori buruk tak bisa dihilangkan.