Saking Dalamnya, Gempa Terdalam yang Terdeteksi Ini Kejutkan Ilmuwan

By Utomo Priyambodo, Rabu, 17 November 2021 | 09:00 WIB
Ilustrasi gempa. (Petrovich9/Getty Images/iStockphoto)

Kedalaman gempa tersebut masih perlu dikonfirmasi oleh peneliti lain, kata Vidale. Namun temuan itu terlihat dapat diandalkan.

"Mereka melakukan pekerjaan dengan baik, jadi saya cenderung berpikir itu mungkin benar," kata Vidale, seperti dilansir Live Science.

Hal ini membuat gempa tersebut menjadi sesuatu yang mencengangkan. Sebagian besar gempa bumi bersifat dangkal, berasal dari dalam lapisan kerak bumi dan mantel atas, yakni sekitar kedalaman100 kilometer pertama di bawah permukaan Bumi.

Di kerak Bumi, yang lapisannya rata-rata memanjang ke bawah hanya sekitar 20 kilometer, batuannya dingin dan rapuh. Ketika batuan ini mengalami tekanan, kata Burnley, batuan tersebut hanya bisa menekuk sedikit sebelum pecah sehingga melepaskan energi seperti pegas melingkar.

Baca Juga: Batu-Batu Monumen Tsunami Ratusan Tahun Selamatkan Banyak Orang Jepang

Adapun di lapisan mantel bawah, batuan lebih panas dan di bawah tekanan yang lebih tinggi, yang membuat mereka tidak mudah pecah. Namun pada kedalaman ini, gempa bumi dapat terjadi ketika tekanan tinggi mendorong pori-pori berisi cairan di bebatuan sehingga memaksa cairan keluar.

Dinamika semacam ini dapat menjelaskan mengapa gempa bisa terjadi di kedalaman 400 kilometer di dalam lapisan mantel atas. Bahkan sebelum gempa susulan Bonin 2015 yang sedalam 751 kilometer, gempa lain juga telah diamati terjadi di lapisan mantel bawah hingga sekitar kedalaman 670 kilometer.

Gempa tersebut telah lama menjadi misteri, kata Burnley. Pori-pori di bebatuan yang menahan air telah tertutup rapat, sehingga cairan tidak lagi menjadi pemicu.

"Pada kedalaman itu, kami pikir semua air seharusnya hilang, dan kami pasti jauh, jauh dari tempat kami akan melihat perilaku rapuh klasik," katanya. "Ini selalu menjadi dilema."

Masalah dengan gempa bumi yang lebih dalam dari 400 kilometer berkaitan dengan cara mineral berperilaku di bawah tekanan. Sebagian besar mantel planet ini terdiri dari mineral yang disebut olivin, yang mengkilap dan hijau.

Baca Juga: Pertama Kalinya, Para Ilmuwan Memetakan Interior Planet Selain Bumi

Kerusakan parah sesaat setelah gempa bumi di Alaska tahun 1964. (U.S. Army via Wikimedia Commons)

Sekitar 400 kilometer ke bawah, tekanan menyebabkan atom olivin menyusun ulang menjadi struktur yang berbeda, mineral kebiruan yang disebut wadsleyite. Dan sekitar 680 kilometer jauh ke dalam mantel, ringwoodite terurai menjadi dua mineral, bridgmanite dan periclase.

Tentu saja para ahli geosains tidak dapat menyelidiki sejauh itu ke dalam Bumi secara langsung. Namun mereka dapat menggunakan peralatan laboratorium untuk menciptakan kembali tekanan ekstrem dan membuat perubahan ini di permukaan.

Dan karena gelombang seismik bergerak secara berbeda melalui fase mineral yang berbeda, para ahli geofisika dapat melihat tanda-tanda perubahan ini dengan melihat getaran yang disebabkan oleh gempa bumi besar.

Transisi terakhir itu menandai akhir mantel atas dan awal mantel bawah. Yang penting tentang fase mineral ini bukanlah namanya, tetapi masing-masing mineral tersebut berperilaku berbeda.

Saat olivin berubah menjadi frasa bertekanan lebih tinggi, olivin menjadi lebih cenderung bengkok dan lebih kecil kemungkinannya untuk pecah sehingga memicu gempa bumi.

Baca Juga: Ahli Geologi NTU Menemukan Catatan Potensi Gempa Besar di Sumatra

Latihan evakuasi biasa dilakukan di zona gempa bumi Jepang. (Public Domain)

Halaman berikutnya...