Saking Dalamnya, Gempa Terdalam yang Terdeteksi Ini Kejutkan Ilmuwan

By Utomo Priyambodo, Rabu, 17 November 2021 | 09:00 WIB
Ilustrasi gempa. (Petrovich9/Getty Images/iStockphoto)

Nationalgeographic.co.id—Gempa terdalam yang pernah ada telah mengejutkan para ilmuwan. Gempa terdalam yang terdeteksi ini berasal dari kedalaman 751 kilometer di bawah permukaan bumi.

Kedalaman itu menempatkan gempa tersebut berada di lapisan mantel bawah Bumi. Sebelumnya para seismolog memperkirakan gempa tidak mungkin terjadi di lapisan tersebut.

Gempa terdalam ini pertama kali dilaporkan pada bulan Juni 2021 di jurnal Geophysical Research Letters. Gempa ini merupakan gempa susulan kecil dari gempa berkekuatan 7,9 SR yang mengguncang Kepulauan Bonin di lepas pantai daratan Jepang pada tahun 2015.

Para peneliti yang dipimpin oleh Eric Kiser, seismolog dari University of Arizona, mendeteksi gempa ini menggunakan stasiun-stasius seismik Hi-net array Jepang.

Array adalah sistem yang paling kuat untuk mendeteksi gempa bumi yang digunakan saat ini, kata John Vidale, seismolog di University of Southern California yang tidak terlibat dalam penelitian ini. Gempa yang dideteksi itu kecil dan tidak bisa dirasakan di permukaan, sehingga diperlukan instrumen yang sensitif untuk menemukannya.

Halaman berikutnya...

Kedalaman gempa tersebut masih perlu dikonfirmasi oleh peneliti lain, kata Vidale. Namun temuan itu terlihat dapat diandalkan.

"Mereka melakukan pekerjaan dengan baik, jadi saya cenderung berpikir itu mungkin benar," kata Vidale, seperti dilansir Live Science.

Hal ini membuat gempa tersebut menjadi sesuatu yang mencengangkan. Sebagian besar gempa bumi bersifat dangkal, berasal dari dalam lapisan kerak bumi dan mantel atas, yakni sekitar kedalaman100 kilometer pertama di bawah permukaan Bumi.

Di kerak Bumi, yang lapisannya rata-rata memanjang ke bawah hanya sekitar 20 kilometer, batuannya dingin dan rapuh. Ketika batuan ini mengalami tekanan, kata Burnley, batuan tersebut hanya bisa menekuk sedikit sebelum pecah sehingga melepaskan energi seperti pegas melingkar.

Baca Juga: Batu-Batu Monumen Tsunami Ratusan Tahun Selamatkan Banyak Orang Jepang

Adapun di lapisan mantel bawah, batuan lebih panas dan di bawah tekanan yang lebih tinggi, yang membuat mereka tidak mudah pecah. Namun pada kedalaman ini, gempa bumi dapat terjadi ketika tekanan tinggi mendorong pori-pori berisi cairan di bebatuan sehingga memaksa cairan keluar.

Dinamika semacam ini dapat menjelaskan mengapa gempa bisa terjadi di kedalaman 400 kilometer di dalam lapisan mantel atas. Bahkan sebelum gempa susulan Bonin 2015 yang sedalam 751 kilometer, gempa lain juga telah diamati terjadi di lapisan mantel bawah hingga sekitar kedalaman 670 kilometer.

Gempa tersebut telah lama menjadi misteri, kata Burnley. Pori-pori di bebatuan yang menahan air telah tertutup rapat, sehingga cairan tidak lagi menjadi pemicu.

"Pada kedalaman itu, kami pikir semua air seharusnya hilang, dan kami pasti jauh, jauh dari tempat kami akan melihat perilaku rapuh klasik," katanya. "Ini selalu menjadi dilema."

Masalah dengan gempa bumi yang lebih dalam dari 400 kilometer berkaitan dengan cara mineral berperilaku di bawah tekanan. Sebagian besar mantel planet ini terdiri dari mineral yang disebut olivin, yang mengkilap dan hijau.

Baca Juga: Pertama Kalinya, Para Ilmuwan Memetakan Interior Planet Selain Bumi

Kerusakan parah sesaat setelah gempa bumi di Alaska tahun 1964. (U.S. Army via Wikimedia Commons)

Sekitar 400 kilometer ke bawah, tekanan menyebabkan atom olivin menyusun ulang menjadi struktur yang berbeda, mineral kebiruan yang disebut wadsleyite. Dan sekitar 680 kilometer jauh ke dalam mantel, ringwoodite terurai menjadi dua mineral, bridgmanite dan periclase.

Tentu saja para ahli geosains tidak dapat menyelidiki sejauh itu ke dalam Bumi secara langsung. Namun mereka dapat menggunakan peralatan laboratorium untuk menciptakan kembali tekanan ekstrem dan membuat perubahan ini di permukaan.

Dan karena gelombang seismik bergerak secara berbeda melalui fase mineral yang berbeda, para ahli geofisika dapat melihat tanda-tanda perubahan ini dengan melihat getaran yang disebabkan oleh gempa bumi besar.

Transisi terakhir itu menandai akhir mantel atas dan awal mantel bawah. Yang penting tentang fase mineral ini bukanlah namanya, tetapi masing-masing mineral tersebut berperilaku berbeda.

Saat olivin berubah menjadi frasa bertekanan lebih tinggi, olivin menjadi lebih cenderung bengkok dan lebih kecil kemungkinannya untuk pecah sehingga memicu gempa bumi.

Baca Juga: Ahli Geologi NTU Menemukan Catatan Potensi Gempa Besar di Sumatra

Latihan evakuasi biasa dilakukan di zona gempa bumi Jepang. (Public Domain)

Halaman berikutnya...

Para ahli geologi dibingungkan oleh gempa bumi di mantel atas sampai tahun 1980-an, dan masih tidak semua setuju mengapa itu terjadi di sana. Burnley dan penasihat doktoralnya, ahli mineral Harry Green, adalah orang-orang yang memberikan penjelasan potensial.

Dalam percobaan di tahun 1980-an, pasangan ini menemukan bahwa fase mineral olivin tidak begitu rapi dan bersih. Dalam beberapa kondisi, misalnya, olivin dapat melewati fase wadsleyite dan langsung menuju ringwoodite. Dan tepat pada transisi dari olivin ke ringwoodite, di bawah tekanan yang cukup, mineral sebenarnya bisa pecah dan bukannya menekuk.

"Jika tidak ada transformasi yang terjadi pada sampel saya, itu tidak akan rusak," kata Burnley. "Tapi begitu saya mengalami transformasi dan saya menekannya pada saat yang sama, itu akan pecah."

Burnley dan Green melaporkan temuan mereka pada tahun 1989 di jurnal Nature. Laporan studi mereksa menunjukkan bahwa tekanan di zona transisi ini dapat menjelaskan gempa bumi di bawah kedalaman 400 kilometer.

Namun, gempa bumi Bonin yang terdeteksi ini lebih dalam dari zona transisi tersebut. Dengan kedalaman 751 kilometer, gempat itu berasal dari tempat yang seharusnya tepat di mantel bawah.

Baca Juga: Catatan Gempa dan Mega Tsunami yang Pernah Melanda Maluku pada 1674

Arkeolog menemukan bukti adanya gempa bumi abad kedelapan SM dengan kerusakan yang luas. (YouTube / Israel Antiquities Authority)

Salah satu kemungkinan penyebabnya adalah bahwa batas antara mantel atas dan bawah tidak persis sama seperti yang diperkirakan para ahli gempa di wilayah Bonin, kata Heidi Houston, ahli geofisika di University of Southern California yang tidak terlibat dalam penelitian itu.

Daerah lepas pantai Pulau Bonin adalah zona subduksi di mana lempengan kerak samudera menyelam di bawah lempengan kerak benua. Hal semacam ini cenderung memiliki efek warping.

"Ini adalah tempat yang rumit, kita tidak tahu persis di mana batas antara mantel atas dan bawah ini," kata Houston.

Sementara itu Burnley berpendapat mungkin lapisan mantel bawah di sana tidaklah sepanas yang diperkirakan sehingga masih bisa terjadi gempa.

Apa pun penyebab gempa dalam tersebut, kemungkinan gempa itu tidak akan sering terulang, kata Houston. Sebab, hanya sekitar setengah dari zona subduksi di seluruh dunia yang mengalami gempa bumi dalam.

Jadi, Houston menegaskan, "Ini adalah kejadian yang sangat langka."

Baca Juga: Mengapa Maluku Sering Mengalami Gempa? Ini Penjelasan BMKG