Pendidikan Bisa Kurangi Risiko HIV

By , Selasa, 30 Juni 2015 | 12:00 WIB

“Saya pikir penelitian ini memberikan bukti bahwa kita harus mempertimbangkan sekolah formal, khususnya sekolah menengah, sebagai cara untuk mencegah HIV," ujarnya.

Pendidikan juga menghemat biaya. Tiap infeksi HIV yang berhasil dihindari, biayanya lebih besar daripada biaya yang dibutuhkan untuk melakukan sunat terhadap anak laki-laki, tapi kurang lebih sama dengan biaya obat anti-HIV kepada orang-orang yang belum terinfeksi HIV tapi berisiko tinggi.

Bor menggarisbawahi bahwa para peneliti hanya memperhatikan biaya pencegahan infeksi HIV. "Kalau kita menyertakan semua keuntungan yang didapat dari bersekolah, maka efektivitas biayanya, saya pikir, akan lebih terasa, seperti slam dunk," tambahnya.

Dalam komentar yang menyertai penelitian tersebut, ahli ekonomi kesehatan dari New York University, Karen Grepin mengatakan penelitian tersebut menyediakan bukti yang kuat bahwa pendidikan bisa mengurangi risiko HIV. "Alasan utama (pendidikan) bukan untuk kesehatan," ujarnya, "tapi dampak kesehatannya juga luar biasa."

Bagaimana caranya?

Tidak jelas bagaimana pendidikan bisa mengurangi risiko HIV. Botswana tidak punya kurikulum pendidikan HIV pada tahun 1996.

“Saya pikir, itulah salah satu hal yang paling menarik tentang hasil penelitian ini," kata Bor. "Apa yang kita lihat bukan hasil dari pendidikan khusus HIV, tapi pendidikan dalam cakupan yang lebih luas. Yang kemudian menimbulkan pertanyaan, apa yang didapat orang dari pendidikan?"

Pendidikan lebih tinggi meningkatkan prospek kerja, yang khususnya penting bagi perempuan. Di Afrika sub Sahara, Bor mengatakan, perempuan sering kali "berada dalam posisi yang bergantung secara ekonomi dengan pasangannya dalam hubungan seksual di mana mereka tidak punya kekuasaan cukup dalam hubungan tersebut untuk memaksa sang pria mengenakan kondom atau menghindari risiko dengan cara lain."

Selain itu, bersekolah lebih tinggi bisa jadi meningkatkan kemampuan kognitif yang membantu membuat keputusan lebih baik.

Tapi selain keahlian belajar, siswa pada usia tersebut "membentuk jati diri mereka dan bagaimana masa depan mereka," ujarnya, seperti, "apakah di masa depan mereka akan memiliki karir, atau apakah fokus masa depan mereka adalah mencari suami."

Saat ini mereka tidak punya jawabannya, tapi Bor mengatakan penelitian berikutnya akan berusaha menjawab pertanyaan tersebut.