Mengenal Pleiades dalam Mitologi Jawa

By , Jumat, 10 Juli 2015 | 15:00 WIB

Sebagai orang Indonesia, setidaknya kita pernah mendengar istilah “Bintang Tujuh”, baik dalam sudut pandang perbintangan maupun sebagai nama perusahaan farmasi terkenal. Namun tahukah kita akan apa makna Bintang Tujuh yang sebenarnya: apa yang dimaksud, bagaimana latar belakang kisahnya, dan apa signifikansinya bagi masyarakat kita? Baiklah kita mulai.

Mengenal Pleiades

 Dalam Astronomi, Pleiades adalah gugusan bintang terbuka (Open Star Cluster). Gugusan bintang ini terdiri dari lebih dari seribu bintang yang sudah diketahui, namun karena jaraknya yang cukup jauh dengan Bumi, Pleiades terlihat hanya terdiri dari tujuh bintang utamanya, yaitu (menurut urutan abjad): Alcyone, Celaeno, Electra,  Maia, Merope, Taygeta, dan Sterope. Kadang disebutkan ada 9 bintang utama, yaitu tujuh putri tersebut ditambahkan dua bintang lagi, yaitu Atlas dan Pleione (orang tua Pleiades dalam mitologi Yunani). Meskipun seringkali disebut sebagai rasi bintang, Pleiades sebenarnya bukanlah salah satu dari 88 rasi bintang yang diakui oleh International Astronomical Union (IAU). Lebih tepatnya Pleiades adalah salah satu asterism, yaitu kumpulan bintang yang membuat suatu bentuk tertentu (sebagaimana rasi) namun merupakan bagian dari satu atau lebih rasi yang diakui oleh IAU. Dalam hal ini, Pleiades adalah asterism dari rasi Taurus.

Dalam mitologi Yunani, Pleiades adalah 7 bersaudara yang merupakan putri-putri dari Atlas. (thinkstockphoto)

Dalam mitologi Yunani, Pleiades adalah 7 bersaudara, putri-putri dari Atlas, raksasa (Titan) yang memanggul bola Bumi di atas bahunya. Nama-nama mereka digunakan untuk menamai 7 bintang utama Pleiades. Mengenai asal nama Pleiades sendiri, terdapat beberapa versi. Versi pertama menyebutkan bahwa Pleiades berarti “putri-putri Pleione”, yang mana Pleione adalah ibu para Pleiades. Versi kedua, yang lebih disukai, menyatakan bahwa kata Pleiades berasal dari akar kata “plein” yang berarti berlayar. Versi ini sangat terkait dengan fungsi Pleiades dalam dunia pelayaran, dimana heliacal rise Pleiades menandakan dimulainya musim pelayaran di Laut Tengah/Laut Mediterania.

Di Indonesia, Pleiades dikenal dengan berbagai nama. Di pulau Jawa, namanya adalah Lintang Kartika, dua kata yang maknanya sama yaitu ‘bintang’. Beberapa orang berpendapat bahwa nama ganda tersebut menunjukkan betapa pentingnya Pleiades bagi masyarakat Jawa. Nama lainnya adalah Bintang Tujuh, meski kadang istilah ini sedikit rancu dengan Rasi Ursa Major/Beruang Besar yang juga memiliki asterism 7 bintang.

!break!

Pleiades dalam Mitologi Jawa

 Karena begitu terang dan indahnya Pleiades, asterism ini sangat dikenal di berbagai penjuru dunia. Di Nusantara, beberapa daerah memiliki kisah mereka sendiri tentang Pleiades. Namun kali ini kita akan fokus pada budaya Jawa.

Dalam budaya Jawa, Pleiades sering kali dikaitkan dengan kisah Jaka Tarub dan Tujuh Bidadari. Meskipun saya belum menemukan literatur yang menunjukkan hubungan langsung kisah ini dengan Pleiades, namun kisah tersebut selalu menyertai pembahasan mengenai Pleiades. Bagi kita yang tinggal di Jawa atau dibesarkan dalam budaya Jawa tentunya kisah ini sudah tidak asing lagi. Kisah ini sudah pernah difilmkan dan bahkan beberapa kali diparodikan dalam berbagai acara televisi seperti Extravaganza. Namun bagi para pembaca yang belum pernah mendengar kisah tersebut, berikut ini adalah ringkasan ceritanya.

Alkisah ada seorang pemuda di pulau Jawa yang bernama Jaka Tarub. Suatu hari Jaka Tarub pergi berburu ke hutan. Dalam perjalanan itu, dia tiba di sebuah danau dan tak sengaja menemukan bahwa di danau tersebut terdapat tujuh orang bidadari dari langit yang sedang mandi. Karena terpikat oleh kecantikan bidadari-bidadari tersebut, Jaka Tarub mencuri selendang salah satu dari tujuh bidadari tersebut dan kembali ke tempat persembunyiannya, menunggu.

Ketika tiba waktunya para bidadari itu untuk kembali ke Kahyangan, salah satu dari mereka tidak dapat menemukan selendangnya. Nawangwulan, demikian nama bidadari itu, tidak dapat terbang kembali ke Kahyangan tanpa selendangnya. Akhirnya saudara-saudaranya terpaksa meninggalkan Nawangwulan di bumi. Nawangwulan hanya bisa menangis.

Melihat kesempatan emas ini, Jaka Tarub keluar dari persembunyiannya dan menyatakan niatnya untuk membantu. Singkat cerita, Jaka Tarub dan Nawangwulan akhirnya menikah. Sebelum menikah, Nawangwulan mengajukan syarat: Jaka Tarub tidak boleh mengintipnya ketika dia melakukan pekerjaan rumah tangga, dan tidak boleh bertanya sedikitpun mengenai hal tersebut. Karena cintanya pada Nawangwulan, Jaka Tarub menyanggupi. Dari pernikahan tersebut lahirlah seorang anak perempuan bernama Nawangsih.

!break!

Meskipun telah berjanji, Jaka Tarub penasaran akan bagaimana Nawangwulan melakukan pekerjaan rumah tangga, terutama menanak nasi. Pasalnya, beras di lumbung tidak pernah berkurang, bahkan  selalu bertambah setiap kali habis panen. Ketika ia tak mampu lagi membendung rasa ingin tahunya, ia membuka penanak nasi ketika Nawangwulan baru saja menanak nasi. Dari situ diketahuinya bahwa Nawangwulan hanya membutuhkan satu butir beras untuk memasak nasi kebutuhan hari itu. Karena ketahuan, hilanglah kekuatan gaib Nawangwulan sebagai bidadari.

Sejak saat itu, Nawangwulan harus menanak nasi sebagaimana manusia lainnya. Beras di lumbung pun semakin berkurang karena digunakan. Suatu hari, ketika timbunan beras di lumbung cukup rendah, Nawangwulan menemukan kembali selendangnya. Ia menyadari bahwa selama ini Jaka Tarub telah dengan sengaja menyembunyikan selendangnya agar ia tidak bisa kembali ke Kahyangan dan Jaka Tarub dapat menikahinya! Murka, Nawangwulan meninggalkan Jaka Tarub dan putri mereka untuk kembali ke Kahyangan. Segala air mata, penyesalan dan permohonan Jaka Tarub tidak dipedulikannya. Meskipun demikian, Nawangwulan berjanji untuk kembali dan menyusui putri mereka, dan akan kembali lagi pada malam sebelum pernikahan putri mereka tersebut. Akhirnya kembalilah Nawangwulan ke Kahyangan.