Tentunya sekarang kita bisa melihat mengapa kisah ini selalu dikaitkan dengan Pleiades. Tujuh bintang dalam asterism Pleiades dianggap sebagai representasi dari tujuh bidadari dalam kisah ini. Salah satu sumber [1] menyebutkan bahwa apabila salah satu bintang di asterism Pleiades tidak terlihat di langit, itu berarti Nawangwulan sedang turun ke Bumi untuk menyusui putrinya. Lalu apa kaitannya dengan budaya Jawa? Sekali lagi, meskipun saya belum menemukan literatur yang menyebutkan hubungan langsung Pleiades dan Kisah Jaka Tarub, beberapa tradisi dalam budaya Jawa didasarkan pada kisah ini.
Sebagai catatan, saya bukanlah ahil budaya Jawa. Apa yang akan saya tulis berikut ini adalah pengalaman dan pengetahuan pribadi yang saya dapatkan ketika tumbuh besar di lingkungan budaya Jawa yang kental.
Dalam ritual perkawinan Jawa, malam sebelum upacara pernikahan disebut sebagai Malam Midodareni bagi calon pengantin putri. Pada malam ini, para calon pengantin putri diminta untuk tidak keluar kamar dan tidak tidur semalam suntuk. Hal ini dikarenakan adanya kepercayaan bahwa pada malam itulah Nawangwulan dan saudara-saudaranya akan turun dari Kahyangan untuk mendandani calon pengantin putri sebagaimana Nawangwulan datang dan mendandani putrinya sendiri pada malam sebelum pernikahannya. Dipercaya, bila calon pengantin putri melakukan ini maka keesokan harinya saat upacara pernikahan ia akan tampil sangat cantik sehingga membuat orang pangling (bahasa Jawa “manglingi”). Kata “midodareni” sendiri dipercaya berasal dari kata “widodari” yang berarti “bidadari”.
Apakah hanya itu? Tidak juga. Ketika saya masih kecil, orang sering berkata bahwa kalau kita melihat pelangi, itu tandanya para bidadari sedang turun dari Kahyangan untuk mandi di danau terdekat. Pelangi adalah jejak cahaya ketika mereka turun. Tidak mengherankan tentunya kalau lukisan-lukisan tentang kisah Jaka Tarub dan Tujuh Bidadari seringkali menggambarkan setiap bidadari mengenakan warna pakaian yang berbeda, yaitu ketujuh warna utama pelangi.
!break!Pleiades dan Tari Bedhaya Ketawang
Bedhaya Ketawang adalah salah satu tarian dari Jawa Tengah yang dianggap sangat sakral. Saking sakralnya, tarian ini hanya dapat ditampilkan pada acara-acara khusus seperti penobatan Raja/Sultan dan acara penting lainnya. Para penarinya pun harus memenuhi beberapa persyaratan ketat, antara lain: mereka harus masih perawan, tidak sedang datang bulan ketika mementaskan tarian (untuk itu mereka selalu menyediakan penari cadangan), dan harus mengikuti beberapa ritual seperti puasa dan pingitan di dalam Kraton sebelum menampilkan tarian tersebut. Mengapa harus begitu, dan apa pula hubungannya dengan Pleiades?
Berdasarkan asal katanya, Bedhaya Ketawang berarti “Tarian Langit” atau “Tarian dari Langit”. Menurut sejarah, tarian ini diciptakan oleh Panembahan Senopati, raja pertama Kesultanan Mataram. Namun ada pula versi yang menyatakan bahwa tarian ini diciptakan oleh Batara Guru, sang Dewa Utama, dan pada saat pertunjukan perdananya ditarikan oleh tujuh bidadari yang tercipta dari tujuh permata berkilauan. Masih dari sudut pandang spiritual, dipercaya bahwa tarian ini merupakan ungkapan cinta antara Kajeng Ratu Kidul, sang Ratu Laut Selatan, kepada suaminya, yaitu Raja-raja Mataram dimulai dari raja pertamanya, yaitu Panembahan Senopati. Seperti diketahui, masyarakat Jawa, khususnya Jawa Tengah, meyakini bahwa Kanjeng Ratu Kidul adalah istri spiritual raja-raja Mataram, Yogyakarta dan Surakarta.
Secara umum tarian ini ditarikan oleh 7-9 orang penari, yang tentu saja kesemuanya harus memenuhi persyaratan yang ketat seperti yang telah saya sebutkan di atas. Karena tarian ini adalah ungkapan cinta Kanjeng Ratu Kidul, tentu saja beliau ingin agar para penari menarikannya sesempurna mungkin. Masyarakat meyakini bahwa ketika latihan berlangsung, Kanjeng Ratu Kidul turut hadir untuk mengawasi latihan dan membetulkan gerakan penari yang kurang sempurna. Bahkan dipercaya bahwa dalam pementasan, salah satu penarinya adalah Kanjeng Ratu Kidul sendiri, baik menjelmakan diri maupun merasuki salah satu penari.
!break!Lalu apa hubungan tarian ini dengan Pleiades? Nah, ini yang menarik. Dipercaya bahwa salah satu konfigurasi (posisi penari ketika menarikan tarian) penari dalam tarian ini mengikuti konfigurasi bintang-bintang yang membentuk asterism Pleiades! Dengan penari sejumlah 7-9 orang, tentunya tidak sulit untuk melihat hubungan tersebut, karena bintang terterang asterism Pleiades juga berjumlah 7-9 (tujuh putri Atlas, sembilan bila menyertakan bintang Atlas dan Pleione), tergantung kondisi langit ketika kita melihatnya.
Pleiades dan PertanianTelah disebutkan sebelumya bahwa asal kata Pleiades adalah dari kata “plein” yang berarti berlayar. Pleiades memang merupakan asterism yang digunakan dalam pelayaran tidak hanya di Eropa, namun juga di Nusantara, khususnya daerah Mentawai. Terbit dan tenggelamnya Pleiades menjadi panduan bagi masyarakat dalam pelayaran.
Bagi masyarakat Jawa, Pleiades memegang peranan cukup penting dalam pertanian. Apabila posisi Pleiades di langit mencapai 50° diatas cakrawala, itu berarti musim ketujuh atau Mangsa Kapitu dalam kalender pertanian Pranata Mangsa telah dimulai. Pada masa itu para petani mulai memindahkan bibit padi dari lahan pembibitan ke lahan utama. Meskipun Pranata Mangsa menggunakan rasi bintang Orion sebagai panduan utama, namun setiap musim memiliki rasi/gugusan bintang lainnya sebagai penanda. Untuk mengetahui lebih dalam mengenai Pranata Mangsa silakan baca tulisan Selayang Pandang Pranata Mangsa.