Perkembangan Salatiga tidak bisa dilepaskan dari peran sebagai kota garnisun pada pertengahan abad ke-18. Usai Geger Pacinan, Gubernur Jenderal VOC Gustaf Willem Baron von Imhof melakukan ekspedisi melancong perdananya ke Semarang-Ungaran-Salatiga-Surakarta. Langkah berikutnya, jalur logistik militer itu diamankan dengan menempatkan garnisun dan pertahanan benteng. Belakangan, keberadaan benteng acap kali dihubungkan dengan kemunculan suatu kota, kawasan pecinan dan pasar.
Litografi kuno karya Joseph Jeakes, perupa asal Inggris yang masyhur awal abad ke-19, melukiskan keadaan Fort Hersteller di Salatiga. Jeakes menorehkan sebuah bangunan kokoh bermenara pengawas. Di depannya terhampar tanah lapang menghijau. Nun jauh, terlihat latar pegunungan Telomoyo di sisi barat daya kota ini. Namun Jeakes bukanlah orang pertama yang membuat lukisan benteng itu. Akhir abad ke-19, Johannes Rach, seorang seniman asal Denmark, membuat skesta pemandangan benteng yang menandai peradaban Kota Salatiga.
“Benteng di Salatiga dihancurkan oleh Belanda sendiri,” ungkap Eddy Supangkat, “Saya mengiranya benteng itu dulu di daerah yang sekarang kompleks batalion Kostrad,” satu kawasan dengan Veteran Ngeblok. Supangkat adalah pemerhati bangunan kolonial di Salatiga yang juga penulis buku Salatiga Sketsa Kota Lama dan Galeri Salatiga.
Hingga hari ini, nasib bangunan-bangunan tua yang menjadi penanda zaman kota ini pun kian tergilas pembangunan kota. Menurut Supangkat dalam sepuluh tahun terakhir ini Salatiga kehilangan 77 bangunan tuanya. Jadi rata-rata dalam setahun 7 hingga 8 bangunan tua lenyap.
Atas kemirisan itulah Supangkat bertekad menyelamatkan sisa pesona kotanya melalui forum warga yang peduli benda cagar budaya. Dia juga bergiat menularkan kecintaan akan kotanya dengan membesut kaos-kaos yang membekukan keindahan Salatiga tempo dulu.