Salatiga, Lelakon Tinggalan Kota Garnisun di Pinggang Merbabu

By Mahandis Yoanata Thamrin, Senin, 13 Juli 2015 | 15:30 WIB
Lukisan Fort Hersteller di Salatiga yang menjadi sisipan buku 'Memoir of the Conquest of Java' karya Major William Thorn, 1815. (J. Jeakes)

Perkembangan Salatiga tidak bisa dilepaskan dari peran sebagai kota garnisun pada pertengahan abad ke-18. Usai Geger Pacinan, Gubernur Jenderal VOC Gustaf Willem Baron von Imhof melakukan ekspedisi melancong perdananya ke Semarang-Ungaran-Salatiga-Surakarta. Langkah berikutnya, jalur logistik militer itu diamankan dengan menempatkan garnisun dan pertahanan benteng. Belakangan, keberadaan benteng acap kali dihubungkan dengan kemunculan suatu kota, kawasan pecinan dan pasar.

Litografi kuno karya Joseph Jeakes, perupa asal Inggris yang masyhur awal abad ke-19, melukiskan keadaan Fort Hersteller di Salatiga. Jeakes menorehkan sebuah bangunan kokoh bermenara pengawas. Di depannya  terhampar tanah lapang menghijau. Nun jauh, terlihat latar  pegunungan Telomoyo di sisi barat daya kota ini. Namun Jeakes bukanlah orang pertama yang membuat lukisan benteng itu. Akhir abad ke-19, Johannes Rach, seorang seniman asal Denmark, membuat skesta pemandangan benteng yang menandai peradaban Kota Salatiga.

Tinggalan bagian tangsi militer Belanda, kini kawasan deretan rumah ini dihuni keluarga purnawirawan. Warga setempat menjuluki kawasan itu sebagai 'Veteran Ngeblok'. (Mahandis Yoanata Thamrin)

“Benteng di Salatiga dihancurkan oleh Belanda sendiri,” ungkap Eddy Supangkat, “Saya mengiranya benteng itu dulu di daerah yang sekarang kompleks batalion Kostrad,” satu kawasan dengan Veteran Ngeblok. Supangkat adalah pemerhati bangunan kolonial di Salatiga yang juga penulis buku Salatiga Sketsa Kota Lama dan Galeri Salatiga.

Hingga hari ini, nasib bangunan-bangunan tua yang menjadi penanda zaman kota ini pun kian tergilas pembangunan kota. Menurut Supangkat dalam sepuluh tahun terakhir ini Salatiga kehilangan 77 bangunan tuanya. Jadi rata-rata dalam setahun 7 hingga 8 bangunan tua lenyap.

Atas kemirisan itulah Supangkat bertekad menyelamatkan sisa pesona kotanya melalui forum warga yang peduli benda cagar budaya. Dia juga bergiat menularkan kecintaan akan kotanya dengan membesut kaos-kaos yang membekukan keindahan Salatiga tempo dulu.

 

Rumah Khalwat Roncalli. Bekas istana Kwik Djoen Eng ini dibangun 1920. Kini dikelola para bruder FIC sebagai pusat spiritualitas Katholik untuk semua ordo. Lokasi: Jl. Diponegoro 90, Salatiga. (Mahandis Yoanata Thamrin)

 

GPIB Tamansari. Gereja mungil nan cantik itu dibangun 1823. Berdekorasi jendela gotik dan rumah lonceng di atas bangunan pintu masuknya. Lokasi: Jl. Jend. Sudirman 1, Salatiga. (Mahandis Yoanata Thamrin)