Kota terindah seantero Jawa Tengah. Demikian panggilan kesayangan untuk Salatiga, setidaknya sebelum runtuhnya imperium Hindia Belanda. Tampaknya sebutan itu masih lekat di benak warga sebagai sesuatu yang terlalu indah untuk dilupakan–meski hingga kini tak satu pun penghargaan Adipura diraih kota ini. Banyak fasilitas publik tinggalan Hindia Belanda masih bermanfaat, seperti bangunan perkantoran pemerintah dan militer, rumah dinas, tempat ibadah, dan beberapa sekolah.
Jalan Diponegoro, seruas jalan utama dengan rumah-rumah tinggal awal abad ke-20 itu menunjukkan tilas permukiman Eropa. Ruas jalan lainnya yang menentukan denyut kota adalah Jalan Sudirman. Kedua ruas jalan ini bertemu di Bunderan Tamansari, jantung kota Salatiga, sekaligus sudut terindah karena kita dapat menikmati anggunnya Merbabu.
Di sekitar Bunderan Tamansari ada beberapa tempat menarik. Di hulu Jalan Sudirman, kita akan menjumpai GPIB Tamansari, sebuah gereja yang dibangun pada 1823. Meskipun dihimpit sebuah mal, bangunan ini masih memesona dengan dekorasi jendela gotik dan rumah lonceng di atas bangunan pintu masuknya. Di dalamnya hanya tersisa beberapa bangku dari zaman kolonial. Namun, para pengurus gereja ini berusaha mempertahankan suasana interior gereja dengan membuat replika bangku-bangku tersebut.
Tepat di seberang gereja dan bunderan, tampak dua rumah indis yang berlatar Merbabu: satu rumah berpilar besi tempa dengan beranda luas dan rumah lainnya berpilar putih gaya tuskan. Kedua rumah yang dibangun sekitar pertengahan abad ke-19 ini dulunya rumah tinggal asisten residen, kini sebagai kompleks rumah dinas walikota Salatiga.
Sebuah inskripsi yang baru diresmikan pada 1997 oleh duta besar Prancis terpampang di teras rumah itu. Inskripsi itu menjadi pengingat bahwa penyair besar Prancis, Jean Nicolas Arthur Rimbaud (1854-91), pernah berjejak di Salatiga dari 2 sampai 15 Agustus 1876.
Dunia memang mengenal Rimbaud sebagai seorang penyair kampiun yang berpengaruh besar pada sastra modern, sekaligus pelancong yang sudah mengencani tiga benua. Singkat cerita, pemuda yang tak punya bakat di bidang militer itu mendaftar sebagai serdadu Hindia Belanda. Dia tercatat bergabung dengan batalion infanteri di Batavia, lalu bersama kesatuannya berlayar ke Semarang. Perjalanan berlanjut dengan kereta dari Kedungjati hingga Tuntang, lalu jalan kaki ke tangsi militer Salatiga. Sebagai seorang pelancong, tentunya Rimbaud terbiasa dengan perjalanan panjang ini.
Namun, kurang dari dua minggu di tangsi Salatiga, Rimbaud dikabarkan hilang saat apel. Memang tak ada informasi soal bagaimana cara sang penyair muda itu melarikan diri dari tangsi militer. Yang jelas, sekitar empat bulan kemudian dia telah berada di rumah keluarganya di Prancis.
Kalau Rimbaud pernah bersyair “Love has to be reinvented, that is clear”, mungkin itulah yang dialami oleh Soekarno tatkala bersantap di rumah dinas walikota Salatiga, suatu siang pada 1952. Di rumah inilah si Bung Besar menemukan cintanya yang ke empat usai menyantap lodeh buatan seorang janda muda, Hartini. Dua tahun berikutnya si Bung pun meminang Hartini. Kelak, perkawinan ini pula menyebabkan Fatmawati hengkang dari istana.
Kebetulan rumah Hartini berada tak jauh dari rumah dinas walikota. Saya beranjak lalu menyeberangi Jalan Diponegoro untuk bertandang ke bekas rumah Hartini itu. Meskipun kini pemilik rumah bukan keluarga Hartini atau Soekarno, rumah berlanggam arsitektur era 1930-an itu hingga kini masih tampak asri seolah tak terpengaruh riuhnya dinamika kota.
Mungkin Salatiga telah ditakdirkan sebagai tempat persinggahan para pemuja keindahan, seperti Rimbaud dan Soekarno. Hanya saja, di Salatiga Rimbaud merasa sangat tak kerasan, sedangkan Soekarno merasa sangat kasmaran.