Dari Jakarta Mengalir sampai Surabaya

By , Senin, 20 Juli 2015 | 19:10 WIB

Kesibukan di Stasiun Senen, Jakarta Pusat, terutama H-7 hingga H+7 Lebaran, nyaris tak pernah berhenti. Kereta Gumarang, Sawunggalih, Fajar, Senja, Bogowonto, Joko Tingkir, Gajah Wong, Menoreh, Bengawan, Tawang, Krakatau, Brantas, Jayabaya, Gayabaru, Majapahit, dan Matarmaja datang dan pergi dengan puluhan ribu penumpang.

Pasangan Siswanto (55) dan Rukinem (54) bangun dari duduknya mendengar pemberitahuan kereta api yang hendak mereka tumpangi tiba. Keduanya lalu membangunkan anak-anaknya. "Saya sudah 35 tahun mudik lewat stasiun ini. Keadaan stasiun sekarang sudah jauh lebih baik. Cuma sekarang repot kalau mau beli tiket. Maklum saya gaptek (gagap teknologi)," tutur Siswanto sambil berjalan terseret di antara ratusan pengantre di Stasiun Senen, Senin (13/7) siang.

Meski harus berdesak-desakan, Rukinem mengatakan, keluarganya baru sekali kehilangan seluruh barang bawaannya. Itu terjadi 15 tahun lalu. "Oleh-oleh Lebaran, uang tabungan keluarga, dan bekal lainnya yang kami simpan dalam dua kardus hilang," kata Rukinem. Siang itu mereka hendak mudik ke Salatiga, Jawa Tengah.

Pemudik lainnya, Darminiwati (43) dan Aditya (17), anaknya, hendak mudik ke Surabaya, Jawa Timur, dengan Kereta Gayabaru Malam. Ia mengatakan, jauh sebelum muncul tradisi mudik dengan sepeda motor pada pertengahan 1990-an, para penumpang pra sejahtera mengandalkan kereta kelas ekonomi. Meski kereta api sudah penuh, di setiap stasiun yang dilintasi, kereta masih berhenti mengangkut penumpang baru.

"Jangankan buat tidur, buat napas aja susah," ujarnya saat ditemui pada Selasa (14/7) pagi.

Pemudik Darmini (54), yang sudah tiga tahun tidak mudik, hari itu terkejut melihat suasana Stasiun Senen yang sudah banyak berubah. "Sekarang tampaknya lebih aman dan nyaman," ujar Darmini, yang hendak ke Semarang, Jawa Tengah, bersama keluarga.

Menurut dia, tahun 2000-an dan sebelumnya, penumpang anak-anak umumnya masuk kereta lewat jendela. "Tahun 2003, anak saya yang masih TK kakinya tergencet anak lain yang lebih besar yang masuk dari jendela yang sama," kenangnya.!break!

Di tahun itu, para penumpang yang tidak kebagian kursi berbaring di lantai agar penumpang baru di stasiun berikutnya tak bisa naik lagi. Tetapi, hal itu tidak berlaku ketika kereta berhenti di Stasiun Jatinegara, Jakarta Timur. Sebab, kata Darmini, selain jumlahnya banyak, orangnya nekat-nekat. "Selalu banyak kejadian penumpang lama terinjak-injak penumpang baru," ucap Darmini.

Menurut Kepala Stasiun Senen Zainul, dibandingkan dengan Stasiun Gambir, kapasitas angkut gerbong di Stasiun Senen memang lebih besar. "Di Gambir, satu gerbong hanya mengangkut 60-an penumpang, tetapi di Pasar Senen, satu gerbong mengangkut 106 penumpang," tuturnya, Minggu (19/7).

Senior Manager Corporate Communication PT KAI Daops I Bambang S Prayitno menambahkan, "Pelayanan penumpang ekonomi memang dipusatkan di Stasiun Senen, sedangkan pelayanan penumpang bisnis dan eksekutif di Stasiun Gambir."

Menurut Zainul, pada hari biasa, jumlah penumpang yang berangkat dari Stasiun Senen setiap hari rata-rata 15.000 orang. "Tetapi, sejak H-7 sampai H+7, jumlah penumpang yang berangkat mencapai 20.000 orang per hari. Puncaknya bisa mengangkut 23.000 pemudik," ujarnya. Menurut Bambang, jumlah ini terbanyak dibanding stasiun mana pun di Jakarta.

Peremajaan

Kepala Pusat Pelestarian Benda dan Aset Bersejarah PT KAI Ella Ubaedi menjelaskan, Stasiun Senen dibangun tahun 1916 dan diresmikan pada tanggal 19 Maret 1925. Dirancang oleh arsitek J van Gendt dengan gaya Neo-Indische.

"Awalnya, stasiun ini hanya tempat pemberhentian sementara kereta Batavia-Bekasi yang dibuka tahun 1894 oleh Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschappij," paparnya, Rabu (24/6). Tempat pemberhentian ini lalu diubah menjadi stasiun oleh Staats Spoorwegen.

Kini, di bagian depan gedung stasiun didirikan bangunan kaca untuk ruang tunggu penumpang sebelum ke ruang tunggu boarding. "Kapasitas ruang tunggu bisa bertambah. Sementara bangunan baru tidak menghalangi keindahan bangunan lama," ujarnya. Ia mengakui, bangunan kaca tersebut mencontoh bangunan kaca di satu stasiun di Perancis.

"Luas bangunan kaca 44 x 13 = 542 meter persegi, menggunakan konstruksi baja iwf 250 dan 200. dengan kaca tempered 10 mm. Tinggi bangunan 7,8 meter. Biaya pembangunannya mencapai Rp 1,4 miliar termasuk pembangunan loket baru, ruang customer service, selasar penghubung, dan pembangunan mushala," ujar Ella.

----------------------

Artikel ini sebelumnya ditayangkan di harian Kompas edisi Senin, 20 Juli 2015, dengan judul "Dari Jakarta Mengalir sampai Surabaya".