Kesalahpahaman Umum Kama Sutra, Bukan Sekadar Posisi Bercinta Belaka

By Sysilia Tanhati, Senin, 22 November 2021 | 14:00 WIB
Dari tujuh buku Kama Sutra, hanya satu bab saja yang menjelaskan soal posisi hubungan seksual. (Govardhan)

Kama dalam arti kata yang paling umum dapat merujuk pada kasih sayang, cinta, rangsangan estetika, atau keinginan. Tidak satu pun yang memasukkkan aspek seksualitas. Naskah diakhiri dengan diskusi tentang kekuatan batin mereka yang melakukan tindakan seksual. Artinya, melakukan aktivitas seksual dapat dilihat sebagai tindakan spiritual di mana kekuatan seksual seseorang dapat ditingkatkan.

Ditulis oleh filsuf Vatsyayana sekitar abad ke-2 M, tujuan dari Kama Sutra adalah untuk menyoroti salah satu dari empat kebajikan hidup. Kama untuk menikmati indra; tiga tujuan lainnya adalah dharma (kehidupan yang bajik), artha (kekayaan materi), dan moksha (pembebasan). Sebelum beralih ke kesenangan hidup, Vatsyayana terlebih dahulu membahas tujuan yang lebih tinggi.

Namun itu tidak berarti bahwa mengikuti jalan suci juga merupakan tujuan naskah, karena kesenangan adalah pusat dari kegiatan reproduksi. Beberapa ahli juga mempertanyakan moralitas penulis karena ada bagian tentang merayu istri pria lain.

Bagi para peneliti, Kama Sutra memberikan wawasan unik tentang seksualitas dan hubungan selama masa Kerajaan Gupta, periode di mana naskah ini ditulis. Kama Sutra terdiri dari tujuh buku, masing-masing membahas dan menjelaskan berbagai bentuk kesenangan. Ketika semuanya dilalui, seseorang dapat mencapai kama.

Baca Juga: Erotika Timur Tengah Berusia 4.000 Tahun, Lebih Tua dari Kamasutra

Kama Sutra adalah teks Hindu, yang judulnya secara harfiah berarti 'risalah tentang keinginan / kesenangan emosional / cinta / seks'. Kemungkinan teks ini berasal dari abad ke-3 atau ke-4, tetapi beberapa pendapat menduga dibuat sebelum abad itu. Teks Sansekerta ini ditulis oleh Vatsyayana Mallanaga. C. Bendall membeli naskah ini di Nepal pada 1884 1885. (Wikimedia Commons)

Kesalahpahaman yang umum adalah bahwa ketujuh buku Kama Sutra menentukan posisi seksual. Padahal sebenarnya hanya satu bab dalam salah satu dari tujuh buku ini yang berbicara tentang posisi seksual. Secara sederhana, fokus naskah bukanlah tindakan fisik bercinta, tetapi lebih pada pencapaian cinta dan kesenangan dalam hubungan dan kehidupan.

Kesalahpahaman umum ini terutama terjadi pada budaya non-timur. Mereka menganggap Kama Sutra merupakan buku panduan untuk ritual yang berkaitan dengan seks tantra. Tantra, dalam istilah yang paling sederhana, adalah keadaan yang mengacu pada penguasaan diri - yang dalam budaya barat telah dikaitkan dengan kecakapan seksual.

Sebenarnya, meski menggambarkan posisi seksual secara pragmatis, naskah ini lebih dimaksudkan sebagai pedoman untuk hidup berbudi luhur.

Baca Juga: Genderqueer, Ketika Seseorang Tidak Merasa Sebagai Pria Ataupun Wanita

Dari 7 buku Kama Sutra, hanya satu bab dari salah satu buku yang menjelaskan soal posisi hubungan bercinta. (Govardhan)

Kama Sutra tidak berhubungan dengan ritual atau praktik tantra, juga bukan doktrin suci tentang ritual seksual. Dalam skema besar, deskripsi tentang hasrat dan posisi seksual sangat kecil. Kama Sutra dimaksudkan terutama untuk membantu seseorang mencapai potensi penuh dari salah satu dari empat tujuan kehidupan yang bajik.

Jika Anda membeli buku tentang Kama Sutra atau membacanya secara daring, pastikan Anda membacanya dengan lengkap. Bukan hanya ringkasan dari satu bab tentang posisi hubungan seksual.

Membaca bagian ini tanpa memahami seluruh naskah dapat membuat seseorang salah mengartikan sebuah karya yang sangat penting dalam kebudayaan India.

Karena inilah pengetahuan modern tentang Kama Sutra sangat salah arah dan bertolak belakang dengan tujuan naskah ini ditulis.

Seiring waktu, mungkin Kama Sutra dapat sekali lagi dinikmati seperti yang dimaksudkan oleh Vatsyayana, sang penulis.

Baca Juga: Perempuan India: Pemerkosaan Bukan Seks, Pemerkosaan Adalah Kekerasan