Mengenal Si Pemburu Nazi

By , Kamis, 6 Agustus 2015 | 07:00 WIB

Simon Wiesenthal, seorang pria berkebangsaan Austria yang memutuskan untuk menjadi seorang “pemburu Nazi”, selama masa mudanya ia melihat begitu banyak ketidakadilan terhadap orang Yahudi selama perang dunia kedua.

Jutaan orang Yahudi dijebloskan ke dalam kamp konsentrasi, dijadikan pekerja paksa, dan tak sedikit dari mereka yang dibunuh secara kejam. Bagi mereka yang bertahan hidup, akan menjalani kehidupan mereka dengan memori kelam akibat perlakuan kejam Nazi terhadap mereka.

Simon Wiesenthal aslinya seorang penganut Yahudi yang namun lahir di daerah Buchach, Ukraina pada 31 Desember 1908. Ayahnya, Asher Wiesenthal merupakan seorang pedagang yang kemudian meninggal ketika mengikuti pertempuran sebagai bagian dari tentara kerajaan Austria – Hungaria saat perang dunia pertama meletus.

Setelah ditinggal sang ayah Wiesenthal melanjutkan hidupnya bersama Ibunya yang bernama Rosa Wiesenthal dan adiknya, Hillel Wiesenthal. Mereka bertiga kemudian berimigrasi ke Austria dan kemudian kembali lagi ke Buchach setelah perang mulai mereda.

Kehidupan setelah perang dunia pertama awalnya berjalan seperti biasa bagi Wiesenthal, ia bahkan berhasil menuntut ilmunya hingga jenjang universitas. Kegemaranya akan seni dan menggambar kemudian membuatnya untuk meneruskan kuliah di kota Lwów dan jurusan arsitektur sebagai pilihanya.

Ia kemudian lulus dan berhasil mendapatkan pekerjaan sebagai seorang insinyur. Menjalani kehidupanya yang cukup, ia kemudian bertemu dengan gadis bernama Cyla Müller dan menikahinya

Namun pada 1939, perang dunia kembali meletus, selain itu akibat Soviet dengan Jerman yang menyepakati Paktra Ribbentrop – Molotov menyebabkan beberapa daerah di Polandia dianeksasi oleh Soviet setelah Polandia berhasil dikuasai oleh Jerman.

Keadaan semakin memburuk ketika pakta yang telah disepakati dilanggar oleh Jerman, daerah – daerah milik Soviet mulai Jerman kuasai, tak terkecuali Polandia. Yang paling menderita dalam perang adalah orang Yahudi, mereka dianggap rendah, dimasukan ke kamp konsentrasi, dijadikan pekerja paksa, dan tak sedikit dari mereka yang kemudian dibunuh secara kejam oleh Nazi

Pada 1941, Wiesenthal beserta istrinya dipindahkan oleh Nazi ke  Kamp Konsentrasi Jonowska dan dijadikan pekerja paksa di jalur kereta api. Selama masa – masanya sebagai tahanan mereka dan jutaan orang Yahudi lainya diperlakukan secara buruk, kelaparan, ketakutan dan kesedihan menyelimuti mereka. Wiesenthal bahkan mengaku bahwa pada ulang tahun Hitler yang ke – 54 para perwira Nazi memutuskan untuk membunuh  54 orang Yahudi sebagai sebuah bentuk perayaan.

Melihat adanya kesempatan untuk melarikan diri, Wiesenthal beserta beberapa rekanya berhasil kabur dari kamp konsentrasi, ia kemudian bertemu dengan istrinya yang sudah  terlebih dahulu kabur dengan bantuak pergerakan bawah tanah Polandia di Lvov.

Selama di Lvov bersembunyi dari Nazi dan beberapa kali berpindah tempat ke apartemen milik rekan – rekanya. Namun sayangnya pada Juni 1944, Wiesenthal tertangkap basah oleh patroli Nazi di apartemenya rekanya bernama Paula Busch..

Ia kemudian dikembalikan ke kamp konsentrasi di Jonowska namun tak lama dipindahkan ke kamp lainya untuk beberapa kali.

Setelah bertahun – tahun menjalani kehidupan sebagai tahanan, kabar baik datang, pada 1945 perang dunia berakhir. Wiesenthal dan istrinya  berhasil bertahan hidup dari perlakuan kejam Nazi terhadap mereka para penganut Yahudi.

Berakhirnya perang menjadi harapan bagi Wiesenthal dan istrinya untuk awalan baru, mereka kemudian dikaruniai seorang putri berama Paulinka. Namun apa yang telah Wiesenthal lalui bukanlah sesuatu yang dengan mudah dapat dilupakan, ia menginginkan ditegakanya keadilan.

Sehingga ia kemudian telah menyiapkan sebuah daftar mereka – mereka yang dianggapi sebagai penjahat perang, terutama dari pihak Nazi yang menindas orang Yahudi. Ia ingin mencari dan mengadili mereka.

Awalnya ia ikut sebuah lembaga buatan sekutu untuk mengadili para penjahat perang, ratusan nama yang sebagian besar merupakan para sipir, komandan, dan polisi rahasia milik Nazi yang ia anggap bertanggung jawab dalam tewasnya sekian banyak orang Yahudi.

Namun seiring berjalanya waktu keterlibatan pihak sekutu dalam perburuan para penjahat perang semakin berkurang. Sehingga Wiesenthal memutuskan untuk mengikuti sebuah lembaga milik bangsa Israel yang kuat keinginanya dalam perburuan penjahat perang ini, mengingat Israel sendiri merupakan bangsa yang menganut paham Yahudi.

Dengan bantuanya, banyak penjahat perang yang berhasil diadaili, dan beberapa dari mereka ada orang – orang seperti Adolf Eichmann yang memprakarsai proyek pembantaian Nazi yang disebut sebagai “Solusi Terakhir” dimana ia berencana untuk senjata pemusnah massal untuk mengakhiri nyawa para umat Yahudi.

Lalu juga ada Hermine Braunsteiner, seorang wanita sadis yang bekerja sebagai seorang penjaga di kamp konsentrasi milik Nazi. Ia dikenal begitu kejam dan suka menyiksa para tawanan dengan cara menendang mereka hingga meninggal.

Dengan bantuan seorang Rabbi bernama Marvin Hier dan sumbangan dana dari beberapa pihak, pada 1977 mendirikan sebuah lembaga bernama Wiesenthal Wiesenthal Center di Los Angeles. Lembaga ini memiliki tujuan untuk melakukan perburuan terhadap para penjahat perang Nazi dan kemudian membawa merea ke pengadilan. Namun sekarang lembaga ini lebih mengarah untuk mengenan mereka – mereka yang menjadi korban holocaust, edukasi, dan perlawanan terhadap semitisme.

Dari lembaga inilah dibentuklah Museum Of Tolerance, museum yang ini memiliki tujuan edukasi untuk berbagai kalangan umur, diharapkan dengan berdirinya museum ini toleransi antar umat beragama meningkat.

Selain itu juga dibentuk sebuah produksi film bernama Moriah Films, dari produksi film ini berhasil diciptakan berbagai dokumenter pemenang Academy Awards seperti Genocide dan The Long Way Home, sebagian besar film yang dibuat membahas masalah mengenai pembantaian orang Yahudi dan mengenang mereka – mereka yang menjadi korban

Wiesenthal sendiri juga berhasil dinominasikan sebagai peraih Nobel Perdamaian pada 1985 namun penghargaan itu berakhir dengan diserahkan kepada seorang aktivis Yahudi bernama Elie Wiesel.

Ia terus menjalani pekerjaanya sebagai seorang “pemburu Nazi” hingga pada 2001, ketika ia mengirim Julius Viel, seorang anggota Waffen SS (pasukan elit milik Nazi), yang didakwa membunuh tujuh orang tahanan Yahudi pada masa perang.

Ia kemudian menjalani masa tuanya hingga meninggal pada 2005. Ia meninggal pada usia 95 tahun dan dimakamkan di kediamanya berada di Austria. Untuk menghormati jasanya dibuatlah sebuah perangko dengan foto dirinya.