Debu dan Bintik Cokelat di Makam, Apakah Ini Kutukan Baru Tutankhamun?

By Sysilia Tanhati, Selasa, 23 November 2021 | 10:00 WIB
Howard Carter saat membuka makam Raja Tutankhamun pada awal abad ke-20. (Griffith Institute, University of Oxford/Colorized by Dynamichrome)

Nationalgeographic.co.id—Howard Carter membuka segel makam Tutankhamun pada tahun 1922. Ia kemudian memulai serangkaian penemuan yang akan menangkap imajinasi dunia dan memicu ketertarikan akan budaya Mesir Kuno.

Hampir seabad kemudian, sebuah tim ilmuwan menyelesaikan pemeriksaan paling signifikan terhadap makam tersebut. Ini merupakan proyek studi dan konservasi yang melelahkan selama satu dekade. Selain  memecahkan beberapa misteri tetapi juga menimbulkan pertanyaan baru tentang masa depan salah satu monumen kuno yang paling terkenal.

"Setiap orang yang pergi ke Lembah Para Raja ingin pergi ke makam Tutankhamun ," kata Neville Agnew, ilmuwan dan konservator utama Getty dalam proyek tersebut. Dokumentasi, diagnosis, dan prognosis kondisi makam yang ekstensif diperlukan untuk membuat rencana untuk masa depan.

Saat penelitian dilakukan, mereka menemukan beberapa masalah. Apakah ini merupakan kutukan baru Tutankhamun?

Di makam tersebut ditemukan bintik-bintik cokelat pada semua lukisan dinding. Ini menimbulkan pertanyaan ketika Carter membuka ruang pemakaman dan mendokumentasikannya. Apa sebenarnya bintik berwarna cokelat itu? Dan yang lebih penting, apakah bintik ini dapat bertambah banyak?

Sebuah studi tentang bintik-bintik tersebut mengungkapkan konsentrasi tinggi asam malat. Ini merupakan produk turunan metabolisme dari beberapa jamur dan bakteri, yang menegaskan bahwa bintik-bintik tersebut berasal dari mikroba.

Halaman berikutnya...

Analisis DNA dari penyeka yang diambil dari dinding makam menemukan organisme modern termasuk Bacillus dan Kocuria. Tetapi pencitraan mikroskop elektron dari bintik-bintik itu tidak menunjukkan sisa-sisa organisme asli yang menciptakannya.

Para konservator berteori bahwa karena Tutankhamun meninggal secara tak terduga sehingga makamnya dipersiapkan dengan terburu-buru. Dinding yang baru diplester dan dicat akan mempertahankan kelembapan yang cukup bagi mikroba untuk berkembang di lingkungan makam yang gelap dan hangat setelah disegel.

Satu hal yang pasti, bintik-bintik itu sudah lama mati dan tidak dapat berkembang lagi. Fakta ini dikonfirmasi dengan perbandingan foto-foto yang diambil tidak lama setelah makam dibuka dengan foto-foto sekarang.

Karena dianggap sebagai bagian dari sejarah makam, bintik tersebut tidak akan dihilangkan dengan mengecat ruangan makam.

Baca Juga: Mumi Janin dalam Peti Mati Kecil, Mumi Termuda dari Mesir Kuno

Selain bintik cokelat, debu juga menjadi masalah yang muncul terus-menerus di makam. Berbutir halus, debu gurun yang diinjak oleh sekitar 500 hingga 1.000 pengunjung setiap hari menempel di setiap permukaan makam. Ini diperparah dengan kelembapan napas pengunjung yang terserap oleh debu.

Penjaga dapat membersihkan sarkofagus berlapis kaca yang berada di tengah ruang pemakaman Tut. Tetapi kerusakan yang disebabkan oleh debu halus yang menumpuk di lukisan rapuh makam itu tidak dapat diatasi.

Jadi ketika para konservator melakukan studi dan pembersihan mural dinding, mereka juga menyusun skema untuk mengatasi masalah debu. Ini dilakukan dengan memasang sistem penyaringan dan ventilasi udara yang canggih untuk menyaring debu serta mencegah partikel berlebih masuk ke makam. Pertukaran udara yang teratur juga telah menstabilkan suhu dan kelembaban di dalam makam.

Meski masalah debu dan bintik cokelat sudah teratasi, proyek konservasi makam mengungkapkan beberapa kutukan baru di makam. Pekerja proyek dikejutkan oleh penemuan secarik kertas di antara tumpukan serat dan potongan sampah. Kertas itu berisi permohonan kepada Tutankhamun untuk berkahdan menyerukan kutukan firaun untuk orang lain.

Baca Juga: Penemuan Jasad Bangsawan Khuwy: Sejarah Mumi Mesir Perlu Ditulis Ulang

Ukiran di makam Raja Tutankhamun. (J. Paul Getty Trust)

Saat ini, pemeriksaan secara menyeluruh pada makam Tutankhamun telah selesai. Tetapi para konservator tetap merasa khawatir akan masa depannya. Dampak jangka panjang dari debu masih menjadi misteri. Debu tersebut mengandung kalsium, magnesium, aluminium, dan fosfor. Hingga kini masih belum jelas bagaimana interaksi debu secara kimia dengan mineral dalam cat dan pigmen di dinding makam.

Efek dari dari peningkatan banjir yang terkait dengan perubahan iklim merupakan kekhawatiran lain yang harus dipertimbangkan. Meskipun langsung aman dari banjir, makam itu dibangun dari batu berpori yang mengandung tanah liat. Sama seperti semua makam di Lembah Para Raja. Jika makam yang berdekatan terkena banjir, uap dapat merembes melalui dinding. Ini akan "benar-benar merobek" dinding makam yang diplester dan lukisannya, kata Lori Wong, konservator lukisan utama Getty di proyek Tutankhamun .

Namun ancaman terbesar bagi makam Tutankhamun adalah pariwisata. Meskipun pemerintah telah membuat replika makam sang Firaun, mereka tidak membatasi jumlah orang yang berkunjung ke makam asli. Alasan utama karena ini akan memengaruhi pendapatan yang masuk.

Agnew berharap sejumlah pekerjaan konservasi di makam Tutankhamun akan menghasilkan kesadaran yang lebih tinggi bagi pengunjung. “Pengunjung perlu mengetahui bahwa ini adalah makam yang harus dihormati,” tuturnya. Baginya, makam para firaun bukanlah suatu “pertunjukan aneh”. Namun rasanya hal itu sulit untuk dicapai di era pariwisata massal seperti sekarang ini.

Baca Juga: Rahasia Perawatan Medis Mesir Kuno, Gunakan Bir dan Mantra Magis