Astana, Pelayan Beretnis Rusia hingga Kantor Presiden nan Megah

By , Rabu, 12 Agustus 2015 | 10:30 WIB

Tak banyak orang Indonesia mengenal Kazakhstan. Saat mendengar nama negara ini, biasanya orang akan merespons, ”Oh, satu kelompok dengan negara-negara yang berakhiran tan, ya?”Setelah Uni Soviet runtuh pada 1991, muncul sejumlah negara baru yang sebelumnya bagian dari Uni Soviet. Di wilayah Asia Tengah, selain Kazakhstan, muncul Tajikistan, Turkmenistan, Uzbekistan, dan Kirgistan.

Kazakhstan merupakan negara bekas pecahan Uni Soviet dengan wilayah paling luas. Luas wilayahnya 2.724.900 kilometer persegi.

Posisi Kazakhstan sangat unik karena berada di tengah-tengah daratan terluas di Bumi, yakni Eurasia. Secara geologis, Eurasia meliputi apa yang dikenal sebagai wilayah Benua Asia dan Eropa.

Ketika Kompas mengunjungi Kazakhstan, beberapa bulan lalu, belum ada penerbangan langsung dari Jakarta menuju negara itu. Kompas harus terbang terlebih dahulu ke Kuala Lumpur, Malaysia, untuk memenuhi undangan Pemerintah Kazakhstan menyaksikan pemilihan presiden pada April 2015.

Dari Kuala Lumpur, penerbangan dilanjutkan ke Almaty, Kazakhstan selatan. Banyak kursi yang kosong dalam penerbangan dari Kuala Lumpur menuju Almaty. Dari Almaty, penerbangan dilanjutkan menuju ibu kota Kazakhstan, Astana.

Tiba di Astana pada saat hari gelap, udara dingin sekitar 11 derajat celsius terasa menembus kulit. Pohon-pohon di pinggir jalan dari bandar udara Astana menuju Hotel Duman masih meranggas. Daun-daun yang gugur sisa musim dingin lalu seluruhnya belum diganti dengan yang baru.

Wilayah yang dikenal sebagai bagian dari Astana sekarang mulai resmi menjadi kawasan ibu kota Kazakhstan pada tahun 1994. Saat itu, Majelis Tinggi Kazakhstan mengesahkan pemindahan ibu kota negara dari Almaty.

Sebelum 1998, nama yang dipakai adalah Akmola. Baru pada Mei 1998, lewat dekrit, Presiden Kazakhstan Nursultan Nazarbayev menyatakan perubahan nama ibu kota dari Akmola menjadi Astana.

Di Astana, tidak ada bangunan tua. Semua serba baru, tampak modern, bahkan agak berkesan futuristik. Cita-cita Kazakhstan untuk menjadi negara maju dan modern hendak ditunjukkan lewat Astana.

Di kota ini, ada mal sekaligus pusat hiburan bernama Khan Shatyr. Bangunannya unik karena dibangun menyerupai tenda suku nomaden.

Pemilihan bentuk tenda suku nomaden sebagai bentuk bangunan Khan Shatyr memiliki dasar historis dan budaya yang kuat. Kazakhstan merupakan negara yang terdiri atas suku-suku nomaden yang beribu- ribu tahun mendiami daratan sangat luas di negara itu.

Khan Shatyr dibangun dengan tenda raksasa setinggi 150 meter. Total area lantai yang berada di dalam ”tenda raksasa” itu mencapai 140.000 meter persegi. Didesain oleh arsitek Inggris, Norman Foster, Khan Shatyr selesai dibangun pada 2010 setelah masa pengerjaan selama hampir empat tahun.

Isi utama Khan Shatyr adalah toko-toko sebagaimana mal-mal di Jakarta. Selain itu, ada juga tempat hiburan, seperti sarana golf mini. Salah satu yang membedakan Khan Shatyr dengan mal-mal di Indonesia mungkin adalah jenis pilihan makanan cepat saji yang disediakan. Selain bisa memilih ayam dan kentang goreng, kita bisa memilih sajian daging kuda rebus dengan sayur rebus atau beshbarmak.