Nationalgeographic.co.id—Aspirin atau asam asetilsalisilat dikenal sebagai salah satu obat yang bisa dikonsumsi untuk pereda nyeri. Berdasarkan hasil penelitian, penggunaan aspirin dikaitkan dengan 26 persen peningkatan risiko gagal jantung pada orang dengan setidaknya satu faktor predisposisi untuk kondisi tersebut.
Dilansir dari SciTechDaily, faktor predisposisi ini termasuk merokok, obesitas, tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, diabetes dan penyakit kardiovaksular. Dr. Blerim Mujaj dari Universitas Freiburg, Jerman memberikan penjelasan terkait studi yang dilakukan dirinya bersama tim.
“Ini adalah studi pertama yang melaporkan bahwa di antara individu dengan setidaknya satu faktor risiko gagal jantung, mereka yang mengonsumsi aspirin lebih mungkin mengembangkan kondisi tersebut daripada mereka yang tidak menggunakan obat tersebut,” ujar Dr. Blerim Mujaj.
Pengaruh aspirin pada gagal jantung masih kontroversial. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi hubungannya dengan kejadian gagal jantung pada orang dengan dan tanpa penyakit jantung. Selain itu guna menilai apakah penggunaan obat tersebut terkait dengan diagnosis gagal jantung baru pada mereka yang berisiko.
Hasil penelitian ini telah dipublikasikan di ESC Heart Failure, jurnal European Society of Cardiology (ESC) dengan judul Aspirin use is associated with increased risk for incident heart failure: a patient-level pooled analysis pada 22 November 2021. Analisis ini melibatkan 30.827 orang dengan risiko mengembangkan gagal jantung yang terdaftar ke dalam studi HOMAGE dari Eropa Barat dan Amerika Serikat.
Berisiko sendiri didefinisikan sebagai salah satu atau lebih hal berikut yakni merokok, obesitas, tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, diabetes dan penyakit kardiovaskular. Peserta berusia 40 tahun ke atas dan bebas dari gagal jantung pada baseline. Penggunaan aspirin dicatat pada saat pendaftaran dan perserta diklasifikasikan sebagai pengguna atau bukan pengguna.
Kemudian, peserta ditindaklanjuti untuk kejadian pertama gagal jantung fatal atau non-fatal yang memerlukan rawat inap. Adapun rata-rata usia peserta adalah 67 tahun dan 34 persen perempuan. Pada awalnya, total ada 7.698 peserta yang menggunakan aspirin. Selama 5,3 tahun tindak lanjut, sebanyak 1.330 peserta mengalami gagal jantung.
Para peneliti menilai hubungan antara penggunaan aspirin dan kejadian gagal jantung setelah disesuaikan untuk jenis kelamin, usia, indeks massa tubuh, merokok, penggunaan alkohol, tekanan darah, detak jantung, kolesterol darah, kreatinin, hipertensi, diabetes, penyakit kardiovaskular dan pengobatan dengan sistem inhibitor renin-angiotensin-aldosterone, penghambat saluran kalsium, diuretik, beta-blockers serta obat penurun lipid.
Mengonsumsi aspirin secara mandiri dikaitkan dengan peningkatan risiko 26 persen dari gagal jantung baru. Guna memeriksa konsistensi hasil, para peneliti mengulangi analisis setelah mencocokkan pengguna aspirin dan non-pengguna untuk faktor risiko gagal jantung. Dalam analisis yang cocok ini, aspirin dikaitkan dengan peningkatan risiko 26 persen dari diagnosis gagal jantung baru.
Para ahli juga memeriksa hasil lebih lanjut dengan menganalisis ulang setelah mengeluarkan pasien dengan riwayat penyakit kardiovaskular. Terdapat 22.690 peserta bebas dari penyakit kardiovaskular, penggunaan aspirin dikaitkan dengan peningkatan risiko insiden gagal jantung sebesar 27 persen.
“Aspirin umum digunakan, dalam penelitian kami satu dari empat peserta menggunakan obat tersebut. Dalam populasi ini penggunaan aspirin dikaitkan dengan insiden gagal jantung, terlepas dari faktor risiko lainnya,” jelas Dr. Blerim Mujaj.
Beliau menyimpulkan bahwa uji coba acak multinasional skala besar pada orang dewasa yang berisiko gagal jantung diperlukan untuk memverifikasi hasil studi ini. Sampai saat itu, berdasarkan pengamatan ditunjukkn bahwa aspirin harus diresepkan dengan hati-hati pada mereka yang mengalami gagal jantung atau dengan faktor risiko untuk kondisi tersebut.