Australopithecus sediba: Spesies Peralihan dan Mata Rantai yang Hilang

By Utomo Priyambodo, Jumat, 26 November 2021 | 11:00 WIB
Ilustrasi Australopithecus sediba. (elifesciences.org)

Nationalgeographic.co.id—Sekelompok ilmuwan internasional dari New York University, University of the Witwatersrand, dan 15 institusi lainnya mengumumkan sebuah penemuan yang merupakan "mata rantai yang hilang" yang menyelesaikan perdebatan puluhan tahun. Penemuan ini membuktikan bahwa hominin awal menggunakan anggota tubuh bagian atas mereka untuk memanjat seperti kera, dan anggota tubuh bagian bawah mereka untuk berjalan seperti manusia.

Para ilmuwan tersebut telah menerbitkan laporan penemuan mereka di jurnal akses terbuka eLife. Mereka melaporakan temuan fosil tulang belakang berusia dua juta tahun dari spesies kerabat manusia purba yang telah punah.

Mereka memberi nama spesies baru hominin ini sebagai Australopithecus sediba. Bagi para peneliti, fosil spesies ini telah memberikan wawasan tentang bagaimana kerabat manusia purba ini berjalan dan memanjat.

Fosil bagian punggung bawah ini ditemukan pada tahun 2015 selama penggalian jalur penambangan yang berjalan di sebelah situs Malapa di Situs Warisan Dunia Cradle of Humankind, di barat laut Johannesburg, Afrika Selatan.

Malapa adalah situs tempat Profesor Lee Berger dari University of the Witwatersrand dan putranya yang saat itu berusia sembilan tahun, Matthew, menemukan sisa-sisa pertama dari spesies baru kerabat manusia purba yang bernama Australopithecus sediba itu. Mereka menemukannya pada 2008.

Mereka kemudian melakukan penggalian pada tahun-tahun berikutnya dan menemukan bagian-bagian tulang lain dari spesies tersebut. Fosil spesies ini kemudian diketahui telah berumur sekitar dua juta tahun.

Tulang belakang spesies ini ditemukan dalam batuan seperti semen yang terkonsolidasi, yang dikenal sebagai breksi. Penemuan fosil spesies baru ini merupakan salah satu dari hanya dua kerangka hominin awal yang masih menyisakan tulang belakang dan gigi bawahnya yang relatif lengkap sehingga memberikan kepastian mengenai spesies apa yang memiliki tulang belakang tersebut.

Awalnya para peneliti menyebut spesies pemilik fosil in sebagai perempuan "Issa" untuk memudahkan identifikasi dan penamaan fosil. Dalam bahasa Swahili setempat, nama Issa memiliki arti sebagai pelindung

"Sementara Issa sudah menjadi salah satu kerangka paling lengkap dari hominin kuno yang pernah ditemukan, tulang belakang ini praktis melengkapi punggung bawahnya dan membuat daerah punggung bawah (tulang lumbar) Issa menjadi tidak hanya punggung bawah hominin terbaik yang pernah ditemukan, tetapi juga mungkin yang terbaik yang terawetkan," kata Berger, yang merupakan penulis laporan penemuan ini dan pemimpin proyek Malapa, seperti dikutip dari Heritage Daily.

Berger juga menambahkan bahwa kombinasi kelengkapan dan kelestarian fosil ini memberi tim pandangan yang belum pernah terjadi sebelumnya pada anatomi punggung bawah spesies tersebut.

Baca Juga: Nenek Moyang Manusia Ternyata Pemakan Kulit Pohon

Studi sebelumnya tentang tulang belakang bagian bawah spesies ini berhipotesis bahwa sediba hanya memiliki tulang belakang yang relatif lurus, tanpa kelengkungan, atau lordosis, yang biasanya terlihat pada manusia modern. Mereka selanjutnya berhipotesis bahwa tulang belakang Issa lebih mirip dengan spesies Neandertal yang punah dan spesies hominin purba lainnya yang lebih primitif yang berusia lebih dari dua juta tahun.

Lordosis adalah kurva dalam tulang belakang punggung dan biasanya digunakan untuk menunjukkan adaptasi yang kuat terhadap bipedalisme. Bipedalisme adalah bentuk pergerakan terestial yang mana suatu organisme bergerak dengan menggunakan dua kaki.

Namun, dengan temuan tulang belakang yang lebih lengkap, dan keawetan fosil yang sangat baik, penelitian ini menemukan bahwa lordosis sediba sebenarnya lebih ekstrem daripada australopithecus lain yang pernah ditemukan.

"Sementara keberadaan lordosis dan fitur-fitur lain dari tulang belakang mewakili adaptasi yang jelas untuk berjalan dengan dua kaki, ada juga fitur-fitur lain, seperti proses transversal yang besar dan berorientasi ke atas, yang menunjukkan otot batang yang kuat, mungkin untuk perilaku arboreal," kata Profesor Gabrielle Russo dari Stony Brook University yang ikut menulis laporan studi atas penemuan baru ini.

Tulang-tulang belakang yang kuat dan mengarah ke atas biasanya menunjukkan otot tubuh yang kuat, seperti yang diamati pada kera. Profesor Shahed Nalla dari University of Johannesburg and Wits yang merupakan ahli tulang rusuk dan peneliti pada penelitian ini mengatakan: "Ketika dikombinasikan dengan bagian lain dari anatomi batang tubuh, ini menunjukkan bahwa sediba mempertahankan adaptasi yang jelas untuk memanjat."

Baca Juga: Fosil Nenek Moyang Manusia yang Tak Dikenal Ditemukan di Israel

 

Studi sebelumnya dari spesies purba ini telah menyoroti adaptasi campuran di seluruh kerangka di sediba yang telah menunjukkan sifat transisi antara berjalan seperti manusia dan adaptasi memanjat. Ini termasuk fitur-fitur yang dipelajari di tungkai atas, panggul, dan tungkai bawahnya.

"Tulang belakang mengikat semua ini bersama-sama," kata Profesor Cody Prang dari Texas A&M, yang mempelajari bagaimana hominin purba berjalan dan memanjat.

"Dengan cara apa kombinasi sifat-sifat ini bertahan pada nenek moyang kita, termasuk adaptasi potensial untuk berjalan di tanah dengan dua kaki dan memanjat pohon secara efektif, mungkin merupakan salah satu pertanyaan besar yang luar biasa tentang asal usul manusia."

Studi ini menyimpulkan bahwa sediba adalah bentuk transisi dari kerabat manusia purba dan tulang punggungnya jelas berbentuk peralihan antara manusia modern (dan Neandertal) dan kera besar.

"Issa berjalan seperti manusia tapi bisa memanjat seperti kera," simpul Berger.

Baca Juga: Mengenal Ardi, Spesies yang Diduga sebagai Nenek Moyang Manusia