Ritual Giwu, Sanksi Adat Dijatuhkan Demi Kelestarian Danau Poso

By Utomo Priyambodo, Kamis, 25 November 2021 | 10:00 WIB
Masyarakat Adat Danau Poso mengadakan ritual adat untuk menjatuhkan giwu atau sanksi adat kepada sebuah perusahaan swasta di Poso. (Ray Rarea/Mosintuwu)

Nationalgeographic.co.id—Kurniawan Bandjolu, peneliti dari Institut Mosintuwu, menjelaskan kepada National Geographic Indonesia tentang beberapa flora dan fauna endemik yang ditemukan di Danau Poso. Menurutnya, danau tektonik ini merupakan perairan yang memiliki keanekaragaman hayati yang melimpah. Di sana, kita bisa menemukan banyak hewan endemik. Mulai dari ikan, udang, siput, hingga kepiting.

Kurniawan membagi kawasan danau untuk memudahkan analisis. Salah satu yang menarik adalah kawasan kompodongi, yang merupakan zona transisi antara perairan dan daratan. Zona ini akan terisi air pada musim hujan, tapi pada musim kemarau jumlah airnya akan mengalami penurunan drastis.

“Pada wilayah ini, kami menemukan tiga jenis hewan endemik. Satunya ikan dan duanya siput,” ungkapnya. Itu adalah Oryzias nigrimas, Tylomelania porcellanica, dan Celetaia persclupta.

Ia menambahkan, zona transisi ini berperan penting pada pelestarian biota perairan yang ada di Danau Poso. Saat musim hujan, di Kompo Dongi banyak ditemukan ikan karena mereka akan mencari makan di sana sesuai instingnya.

Ratusan masyarakat adat dari 21 desa yang ada di pinggir Danau Poso di Sulawesi Tengah bersepakat menjatuhkan giwu atau sanksi adat kepada sebuah perusahaan swasta yang beroperasi di sekitar danau tersebut. Kesepakatan itu dibuat pada Senin, 22 November 2021, dalam ritual adat di Kompodongi.

Halaman berikutnya...

Kompodongi memiliki nilai sejarah bagi masyarakat adat tepian Danau Poso. Kawasan itu terletak di Kelurahan Tentena, Kecamatan Pamona Puselemba, Kabupaten Poso.

Dalam catatan sejarah suku Pamona, wilayah Kompodongi merupakan simbol penguasaan wilayah ulayat setelah perang antara Pamona dan Napu di masa lalu. Selama sekian generasi masyarakat Danau Poso hidup, kawasan Kompodongi telah menjadi bendungan alami danau dan juga menjadi wilayah riparian tempat pengembangbiakan ikan alami.

Tylomelania porcellanica. (Mosintuwu/Kurniawan Bandjolu)

Perubahan lingkungan di kawasan itu dikhawatrikan akan menghilangkan Mosango, salah satu tradisi masyarakat untuk menangkap ikan. Saat Mosango dilakukan, masyarakat akan datang dari berbagai wilayah desa di kawasan adat di danau tersebut.

Kini wilayah seluas 34 hektare itu sedang terancam oleh proyek reklamasi yang dilakukan oleh sebuah perusahaan swasta. Mayarakat adat meyakini kegiatan perusahaan itu telah merusak lingkungan di sana sehingga mereka menjatuhkan sanksi adat terhadap perusahaan tersebut.

Berlin Modjanggo, Ketua Adat Desa Meko, Kecamatan Pamona Barat, memimpin ritual penjatuhan giwu tersebut. Dia mengatakan bahwa sanksi adat ini adalah pernyataan sikap Masyarakat Adat Danau Poso (MADP).

Baca Juga: Nilai-Nilai Universal di Danau Poso, Keterkaitan Manusia Bersama Alam

Ratusan warga adat di sekitar Danau Poso berbondong-bondong berkumpul untuk mengadakan ritual giwu. (Ray Rarea/Mosintuwu)

Ritual giwu ini diadakan di kawasan Kompodongi, di sekitar Danau Poso. (Ray Rarea/Mosintuwu)

Baca Juga: Sudah Saatnya, Danau Poso Dijadikan Taman Bumi Berkelanjutan

Perusakan yang dimaksud itu berupa upaya membendung aliran Sungai Poso untuk menaikkan ketinggian air Danau Poso sejak April 2020. Dampak dari naiknya ketinggian muka air Danau Poso adalah terendamnya 266 hektare sawah dan kebun warga di pinggir danau tersebut. Selain itu, 150 hektare padang penggembalaan kerbau dan sapi masyarakat Desa Tokilo, Tindoli, dan Tolambo di Kecamatan Pamona Tenggara juga terdampak oleh naiknya ketinggian air danau ini.

Efren Ponangge, Kepala Desa Dulumai, Kecamatan Pamona Puselemba, menganggap jumlah ganti rugi itu sebagai bentuk penghinaan kepada para petani. Di Desa Dulumai ada 81 hektare sawah. Kini sebanyak 40 hektare itu terendam air danau dan sudah tidak bisa diolah lagi.

Beberapa barang dan perlengkapan yang dipakai untuk ritual giwu di Poso. (Ray Rarea/Mosintuwu)

Baca Juga: Harta Karun Danau Poso: Pusparagam Kehidupan, Kisah Bencana, dan Kemunculan Sulawesi

Adapun di Desa Tokilo, ada 103 ekor kerbau warga yang mati hanya dalam waktu 3 bulan. Matinya ratsuan kerbau yang digembalakan di Polapa Baula, padang seluas kurang lebih 300 hektare di pinggir Danau Poso itu terjadi karena kekurangan makanan setelah setengah kawasan itu ikut terendam air. Akibatnya banyak kerbau dan sapi di sana kekurangan makanan.

Hertian Tangkua, Kepala Desa Tokilo, mengatakan bahwa ratusan kerbau dan sapi warganya mati karena kekurangan makanan. Selain itu, ia juga meyakini satwa-satwa warga mati karena keracunan setelah memakan rumput yang busuk karena terendam air.

Kawanan kerbau dan sapi yang terdesak dari lahan penggembalaan kemudian merusak kebun dan sawah yang ada di sekitar. Hal ini berpotensi menimbulkan konflik antara para pemilik kerbau dan sapi dengan para pemilik kebun atau sawah yang dirusak hewan-hewan ternak tersebut.

Ritual giwu atau pemberian sanksi adat ini dilakukan setelah masyarakat sudah berusaha melayangkan protes langsung kepada perusahaan maupun pemerintah, tapi tak juga mendapat hasil yang layak. (Ray Rarea/Mosintuwu)

Upaya warga untuk mencari penyelesaian yang adil telah dilakukan dengan berbagai cara. Sejak 2020 mereka sudah menyampaikan persoalan ini kepada pemerintah mulai dari tingkat desa hingga kabupaten serta DPRD Poso. Mereka juga telah menyampaikan protes ini secara langsung kepada pihak perusahaan.

Atas semua persoalan itulah, Masyarakat Adat Danau Poso kemudian menjatuhkan sanksi adat lewat ritual giwu ini. Isi sanksi adat adalah menuntut agar semua aktivitas pengerukan dan reklamasi di danau ini harus dihentikan. Mereka berharap tidak ada lagi kerbau yang mati dan tidak ada lagi sawah, kebun, maupun padang gembala yang terendam air dan rusak.

Manusia tak lepas dari sirkulasi alam dan rahasia-rahasianya. Begitu juga yang terjadi di Danau Poso, di mana manusia dan alam sangat berkaitan erat antara satu dengan lainya. Manusia Poso melihat danau sama seperti melihat manusia. Ada nilai universal yang di bawa. Karena dari zaman silam, orang Poso hidup dalam kebersamaan.

Ada tanda tanda alam yang berkaitan dengan masyarakat di Danau Poso kata Dimba Tumimomor, seorang pegiat budaya Poso, kepada National Geographic Indonesia pada kesempatan berbeda. Dia menuturkan, misalnya, saat pergi berburu dan memancing terdengar suara burung tengkek—layaknya suara tokek—itu akan menentukan sang pemburu jadi pergi atau tidak. Ketika berkebun pun demikian, jika lahan sudah tidak dipakai maka lahan harus dibiarkan tumbuh.

Begitu juga dengan kehidupan danau dan manusia. Danau Poso telah memberikan bermacam hal yang menghidupi manusia. Orang Poso, menurut Dimba harus memeliharanya sebagai sumber kehidupan.

"Danau Poso itu memiliki tanoana (roh dan jiwa) dan tidak semata-mata punya tubuh (air, pantai pasir putih dan kuning, flora dan fauna). Kaya mitos, legenda, hikayat, kisah dan cerita," kata Dimba.

Danau Tektonik Poso merupakan salah satu dari potensi warisan geologi yang layak dijadikan taman bumi (geopark). Taman bumi merupakan wilayah terpadu warisan geologi yang berkelanjutan. Selain menjaga alam, potensi taman bumi juga bisa beririsan untuk menunjang kesejahteraan ekonomi masyarakat di sekitarnya. Inilah harta karun Danau Poso sesungguhnya yang harus dijaga kelestariannya.

Baca Juga: Mengenal Keragaman Flora dan Fauna Endemik Danau Poso dan Sekitarnya