Sastra yang Menjaga Indonesia

By , Kamis, 27 Agustus 2015 | 09:30 WIB

Ada yang menarik dalam pemberian penghargaan Rancage 2015 di Bandung, Jawa Barat, Sabtu (22/8). Selain beberapa sastrawan diberikan anugerah kebudayaan, acara itu diwarnai pernyataan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi bahwa sastrawan dan karya-karyanya berpotensi besar menjadi inspirasi dan menjaga nilai keindonesiaan.

"Sastrawan bisa berkontribusi menyelesaikan beragam masalah, seperti merosotnya kewibawaan negara, melemahnya sendi ekonomi, serta merebaknya intoleransi dan krisis kepribadian," kata Yuddy (Kompas, 24/8).

Kenapa pernyataan itu menarik? Karena belakangan ini kian jarang pejabat pemerintah, apalagi menteri, berbicara tentang sastra. Para pejabat biasanya disibukkan oleh urusan politik praktis sehari-hari. Meski bukan menteri yang membidangi kebudayaan, ternyata Yuddy cukup perhatian pada kegiatan kebudayaan dan mengutarakan harapan agar karya sastra memberi inspirasi yang baik bagi bangsa.

Pertanyaan tak biasa itu mengundang pertanyaan lanjutan, seberapa besar kemungkinan karya sastra menjaga nilai-nilai keindonesiaan. Bagaimana pula caranya?

Masih dilaporkan harian ini (Kompas, 25/8), menanggapi pernyataan Yuddy, pengajar Sastra Indonesia Universitas Indonesia, Maman S Mahayana, mengajak kita menelusuri peran besar sastra dalam kemerdekaan. Salah satu tonggak penting kebangkitan nasionalisme, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, memperlihatkan tekan para pemuda saat itu untuk mendeklarasikan berbahasa satu, yaitu Bahasa Indonesia. Artinya, Bahasa Indonesia (yang juga menjadi medium utama sastra) diyakini sebagai alat pemersatu bangsa.

Sastra pada masa kemerdekaan

Saat kemerdekaan, istilah-istilah pengobar perjuangan juga dirumuskan secara sastrawi sehingga menjadi jargon yang efektif memicu nasionalisme. Sebut saja, jargon "merdeka atau mati!" atau "berjuang sampai titik darah penghabisan!". Pada poster perjuangan karya pelukis Affandi, tersemat slogan terkenal dari penyair Chairil Anwar, "Bung Ajo Bung!".

Pada masa perjuangan, sastra memang dekat dengan gerakan kebangkitan nasionalisme dan kemerdekaan karena sebagian tokoh elite perjuangan Indonesia pada masa itu adalah sastrawan. Salah satunya, Muhammad Yamin, pejuang yang banyak menulis puisi, naskah drama, esai sastra, dan kebudayaan. Sebagai aktivis Jong Sumatranen Bond, dia turut menyusun Sumpah Pemuda 1928 yang terkenal itu.

Amir Hamzah (1911-1946), pahlawan nasional, adalah seorang sastrawan Pujangga Baru. Dia memimpin Kongres Indonesia Muda di Solo, Jawa Tengah, tahun 1931. Puisi-puisinya turut mematangkan Bahasa Melayu sebagai bahasa nasional Indonesia. Nama lain dengan reputasi sebagai sastrawan sekaligus pejuang nasional adalah Abdul Muis (1883-1959), Raja Ali Haji (1808-1873), dan Agus Salim (1884-1954).

Soekarno, proklamator dan presiden pertama Republik Indonesia, adalah penulis naskah drama. Ketika dia diasingkan di Ende, Nusa Tenggara Timur, tahun 1934-1938, dia banyak menghasilkan naskah sandiwara tentang semangat perjuangan, yang kemudian dimainkan oleh kelompok teater bentukannya. Naskah-naskah itu dimanfaatkan untuk membangkitkan semangat kemerdekaan.

!break!

Sastra menjauh dari kekuasaan

Bagaimana dengan masa kini? Berbeda dengan masa perjuangan kemerdekaan dan Orde Baru, elite politik kini berjarak dengan sastra. Mungkin ada beberapa pejabat yang pemerhati atau penikmati karya sastra, tetapi hampir tidak ada pejabat publik nasional yang sekaligus sastrawan sebagaimana terjadi pada masa lalu. Dengan begitu, sastra pun kian menjauh dari panggung politik, termasuk ruang-ruang untuk menentukan kebijakan publik yang penting.

Jarang sekali kita dengar pernyataan-pernyataan pejabat yang memiliki bobot sastrawi atau menyitir karya sastra. Apalagi, wacana yang langsung membicarakan karya sastra. Praktik politik saat ini semakin tereduksi sebagai ajang perebutan kekuasaan yang kering dan miskin imajinasi, apalagi imajinasi sastrawi.