Sastra yang Menjaga Indonesia

By , Kamis, 27 Agustus 2015 | 09:30 WIB

Sastra tetap tumbuh dengan konteks dan karakteristik sesuai semangat zaman sekarang. Namun, posisinya tak lagi berdekatan dengan panggung politik, tetapi di wilayah pinggiran. Sastra berdenyut di tengah komunitas penghidupnya, di taman-taman budaya, di kampus-kampus, atau di ruang-ruang perpustakaan.

Meski di pinggiran, sebenarnya karya sastra tetap memendarkan inspirasinya bagi Indonesia. Nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, kebenaran, kebaikan, dan keluhuran budi, terus saja merembes dari buku-buku sastra ke tengah masyarakat. Meski tak lagi melalui jalur politik, sesungguhnya karya sastra memang masih menginspirasi kita. Beberapa karya klasik tetap dibaca, sementara karya-karya dari sastrawan muda terus bermunculan dan menemukan pembacanya masing-masing.

Inspirasi dari sastra kian terasa ketika belakangan sejumlah karya sastra, terutama novel, berhasil difilmkan. Nilai-nilai dari kesusastraan pun bermetamorfosis dari teks tulis menjadi media audio-visual yang lebih populer dan enak disimak publik lebih luas. Dalam hal ini, kita bisa menyebut, antara lain novel Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi karya Andrea Hirata, Ayat-ayat Cinta (Habiburrahman El Syirazy), Perahu Kertas (Dee Lestari), 99 Cahaya di Langit Eropa (Hanum Salsabeela Rais dan Rangga Almahendra).

Khusus untuk Laskar Pelangi, karya ini sungguh menyuguhkan fenomena menarik. Pamor novel dan film itu tak hanya memikat pasar, melainkan juga berhasil mengangkat citra Belitung Timur, kampung yang menjadi latar belakang novel tersebut. Kawasan itu kini menjadi salah satu tujuan wisata di Kepulauan Bangka Belitung yang menarik publik.

Situs-situs yang dikisahkan dalam novel itu kini menjadi titik-titik tujuan wisata yang ramai, seperti Kampung Gantong, warung kopi di Manggar, Sekolah Laskar Pelangi, kediaman Ibu Mus (pengajar sekolah), dan Pantai Tanjung Tinggi di Belitung. Sejak beberapa tahun lalu, digelar juga Festival Laskar Pelangi yang mementaskan seni budaya lokal. Belakangan, para turis mendapat satu tambahan lagi tujuan wisata, yaitu "Museum Kata" Andrea Hirata.

Di museum itu, wisatawan disuguhi berbagai hal terkait proses kreatif pembuatan novel dan film Laskar Pelangi. Ada buku-buku karya Andrea, film, foto-foto proses shooting film, kliping liputan media, dan pernak-pernik lain. Jika beruntung, mereka dapat bertemu dengan Andre sendiri yang masih sering mengunjungi kampung halamannya dan berbagi kreativitasnya dengan masyarakat setempat.

Fenomena "Laskar Pelangi" membuktikan, karya sastra tak hanya mampu memberi inspirasi, tetapi juga mendorong kemajuan sebuah kota. Pencapaian semacam ini bakal lebih tinggi lagi jika pemerintah mau turun tangan untuk memfasilitasi dan memberi dukungan. Pernyataan Menteri Yuddy bakal lebih bermanfaat jika diikuti program-program nyata pemerintah dalam membantu pengembangan karya sastra.