Dewi Sartika, Guru yang Membangun Citra Perempuan Lewat Pendidikan

By Galih Pranata, Kamis, 25 November 2021 | 18:17 WIB
Sakola Keoetamaan Istri di Bandung. (KITLV)

Nationalgeographic.co.id—Kedudukan perempuan dari masa ke masa terus mengalami perkembangan. Nahasnya, di masa pemerintahan Hindia-Belanda, perempuan hanya dipandang sebelah mata.

Kemunduran kedudukan perempuan dalam masyarakat Sunda disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor pertama, ketika era Mataram berkembang, feodalisme menempatkan istri sebagai lambang status seorang pria, perempuan yang awalnya adalah subjek tergeser kedudukannya menjadi objek.

Kedua, masuknya ajaran Islam ternyata serta merta disalah artikan oleh masyarakat. Masyarakat muslim konservatif di Jawa memandang bahwa istri hanya berlaku sebagai pelayan rumah tangga bagi suami.

Stigma remeh terhadap perempuan pada akhirnya terus belanjut hingga menimbulkan tradisi yang mengekang atau merendahkan kaum perempuan.

"Saat Dewi Sartika tinggal di Cicalengka bersama pamannya, ia melihat istri-istri pamannya merasa sedih karena sikapnya. Pamannya ingin menikah lagi dan mencari perempuan lain," tulis Elis.

Elis Faujiah menulis bersama Samsudin, mengisahkan perjuangan pemikiran Dewi Sartika dalam jurnal Al-Tsaqafa: Jurnal Ilmiah Peradaban Islam. Jurnalnya berjudul Pemikiran Dewi Sartika Pada Tahun 1904-1947 dalam Perspektif Islam, publikasi 2020.

Kejadian-kejadian menyedihkan itu membuat Dewi Sartika menjadi salah seorang yang giat untuk mengembalikan citra perempuan melalui pemikiran-pemikirannya. "Bahkan ibunya, disepelekan oleh ayahnya," tambahnya.

Halaman berikutnya...