Dewi Sartika, Guru yang Membangun Citra Perempuan Lewat Pendidikan

By Galih Pranata, Kamis, 25 November 2021 | 18:17 WIB
Sakola Keoetamaan Istri di Bandung. (KITLV)

"Ari jadi awewe kudu sagala bisa ambeh bisa hirup (menjadi perempuan harus memiliki banyak kecakapan agar mampu hidup)", ujar Dewi Sartika dalam tulisannya. Dewi Sartika dengan pengalamannya, memberanikan diri untuk mendirikan sekolah.

Perjalanannya tidak mudah. Saat menemui kepala afdeeling (sekarang Bupati) Bandung, Martanagara, idenya ditentang. "Menurutnya sekolah khusus perempuan akan ditentang oleh masyarakat, perempuan tidak perlu sekolah," imbuhnya.

"Entong, awewe mah entong sakola, asal bisa nutu-ngejo, bisa kekerod, bisa ngawulaan salaki, nggeus leuwih ti cukup, ganjaranna ge manjing sawarga (Jangan, perempuan tidak usah sekolah, asalkan bisa menanak nasi, menjahit, mengabdi kepada suami sudah lebih dari cukup, pahalanya surga)," tegas Martanegara kepada Dewi Sartika.

Pemikirannya menembus batas, tidak terpikirkan oleh masyarakat Bandung kala itu. Dewi Sartika tetap teguh pendirian, memaksa Martanegara untuk mengiyakan gagasannya, hingga Martanegara pun luluh.

Baca Juga: Sang Revolusioner Pendidikan, Willem Iskander Yang Dikagumi Belanda

Berkat kerja kerasnya, Dewi Sartika mendapat restu untuk mendirikan sekolah khusus kaum perempuan yang diresmikan oleh kepada afdeeling Bandung, R.A.A Martanegara pada 16 Januari 1904.

Belum terbentuknya pemikiran akan pendidikan perempuan di masyarakat, membuat sekolah rintisan Dewi Sartikan diselenggarakan di pendopo bupati, takut-takut ditentang oleh masyarakat sekitar. Ia menamai sekolahnya dengan nama Sakola Kautamaan Istri.

"Benar saja, beberapa perempuan bahkan tak berpikir untuk mau bersekolah disana, karena dianggap melanggar etika perempuan (kala itu) yang kodratnya hanya seputar rumah saja," tulis Lina Zakiah.

Ia menulis dalam skripsinya tentang perjuangan Dewi Sartika dalam merintis Sakola Kautamaan Istri. Tulisannya berjudul Konsep Pendidikan Perempuan Menurut Raden Dewi Sartika, publikasi tahun 2011.

"Melihat kegigihan Dewi Sartika dalam menyuarakan perempuan berdikari yang mampu tampil mandiri dengan kemampuan dan keterampilan yang dimiliki, membuat para perempuan di Bandung tertarik dengan sekolahnya," tambahnya.

"Cita-cita luhurnya untuk mendidik kaum perempuan untuk keluar dari belenggu stigma negatif yang melingkupinya, menjadi kurikulum mendasar bagi Sakola Kautamaan Istri," lanjutnya. Dewi Sartika selain menjadi kepala sekolah, ia juga turut menjadi guru. 

Untuk menjiwai setiap sistem dan kurikulum yang diterapkan, seluruh aspek sekolah dilaksanakan oleh kaum perempuan. "Mendobrak stigma bahwa perempuan mampu bersaing dengan kaum lelaki dalam hal pendidikan," imbuh Lina.

Kurikulumnya mengacu pada Tweede Klasse School, rintisan menteri pendidikan Hindia-Belanda. Beberapa elemen di dalamnya ditambahkan sebagai identitas dari sekolah khusus perempuan dari kalangan bumiputera. Jenjang pendidikannya selevel dengan sekolah dasar.

Baca Juga: Kiai Ghozali: dari Pengajian sampai Pejuang Pendidikan Islam

Para wanita berkumpul di kediaman Dewi Sartika dalam jamuan minum teh. Dewi Sartika duduk paling kiri. (Wikimedia Commons)

"Kurikulum melingkupi pendidikan kognitif (termasuk bahasa Belanda) dan keterampilan (mata pelajaran Membatik) diajarkan disana," terangnya. Mbok Suro yang merupakan orang Jawa, mengajar membatik, sedangkan sisanya mengajar Bahasa Belanda.

Selain membatik, keterampilan rumah tangga juga dipelajari. Mulai dari memasak, menjahit, menyulam, merenda, mengatur rumah, dan lain-lain. "Sekolah tak hanya soal emansipasi, tetapi juga melatih keterampilan hidup sehari-hari sebagaimana kodratnya seorang perempuan," ungkapnya.

"Pelajaran tata krama adalah salah satu identitas perempuan yang perlu dijunjung, ini membedakan karakteristik perempuan Bandung dengan Eropa," pungkasnya.

Pendidikan perempuan menjadi dasar yang penting di kemudian hari, sebagaimana perempuan sebagai guru kehidupan, kala membesarkan dan mendidik anak-anaknya kelak. 

Berkat jasa dan gagasannya, Dewi Sartika ia dianugerahi gelar Orde van Oranje-Nassau oleh pemerintah Hindia-Belanda pada ulang tahun ke-35 Sekolah Kaoetamaan Isteri (Sakola Istri). Kemudian, mendapat gelar penghargaan sebagai pahlawan nasional pada 1 Desember 1966 oleh Presiden Ir. Soekarno. 

Baca Juga: Menyingkap Sejarah Sekolah Modern Pertama di Maluku, Abad Ke-16