Desakan untuk Memuliakan Pusat Peradaban Semesta

By , Minggu, 30 Agustus 2015 | 07:30 WIB

“Saya sebetulnya nyasar bisa bertemu dengan aktivis-aktivis lingkungan ini,” ujar Muhammad Zamroni sembari duduk termangu menghadap Sungai Serayu. Kemudian, pemuda berkaos hitam yang menggantungkan topi rimbanya di punggung itu berkata, “Karena di dalam lingkungan kami, asalnya tidak seperti itu.”

Pagi itu Zamroni, 36 tahun, duduk sembari menyaksikan hamparan batu-batu sungai yang tersingkap karena menyurutnya sungai selama musim kemarau. Lelaki itu salah satu peserta dalam Kongres Sungai Indonesia, sebuah acara yang menjadi salah satu agenda Festival Budaya Serayu 2015.

Kongres tersebut merupakan perjumpaan akbar yang pertama bagi para penggiat dan pelestari sungai. Program acaranya digelar di bivak kawasan wisata petualangan di tepian Sungai Serayu, Banjarnegara, Jawa Tengah. Kongres dibuka pada Rabu, 26 Agustus, dan berakhir pada Minggu, 30 Agustus 2015. Para pesertanya adalah pelestari sungai, baik perorangan maupun komunitas, yang berasal dari Aceh sampai Papua.

Sehari-hari, Zamroni adalah tenaga pengajar di sekolah kejuruan swasta di Sidoarjo. Lelaki itu merupakan pendiri Kampoeng Sinaoe, sebuah komunitas yang awalnya sebagai bimbingan belajar di Siwalan Panji, Sidoarjo, Jawa Timur. Namun, baru semenjak dua-tiga tahun ini Zamroni dan teman-temannya bergiat untuk lebih peduli dengan sungai yang membelah desa mereka.

Sungai Serayu yang melintasi Banjarnegara dan bermuara di Samudra Hindia. Namun, penelitian satu dekade silam mengatakan bahwa pestisida pertanian, pupuk, dan limbah domestik telah mencemari sungai ini sejak di Wonosobo atau kawasan hulunya.  (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Zamroni mengibaratkan Kampoeng Sinaoe itu seperti miniatur kampus, karena terdiri atas sederet  saung pembelajaran bahasa inggris, sinematografi, komputer, jurnalistik, hingga perpustakaan umum.  Kampoeng Sinaoe adalah wadah bersahaja bagi anak-anak SMP dan SMA yang berhasrat untuk memuliakan lingkungan hidup mereka. Pusat kegiatan mereka adalah sederet saung bambu beratap alang-alang yang berada di depan rumah-rumah warga. “Komunitas kami adalah komunitas belajar,” ujarnya, “namun di dalamnya banyak kepedulian lingkungan.”

Kendala Zamroni justru datang dari orang tua anak didiknya yang lebih mengutamakan membangun kecerdasan akademis. "Itu adalah nomor kesekian bagi saya," ujarnya. "Selama ini yang utama bagi saya adalah membangun manusianya, karakternya kita bentuk."

Sungai-sungai di Sidoarjo umumnya sudah tercemar, Zamroni mengungkapkan, dan yang paling bermasalah adalah Kali Porong—tempat limpasan petaka lumpur Lapindo. Dia menyaksikan buaya-buaya muara hijrah ke habitat baru di hulu Kali Porong. “Jadi itu memprihatinkan dan butuh gerakan bersama-sama.”

“Saya banyak mendapatkan ilmu di sini,” ujar Zamroni bersemangat. “Saya masih sangat miskin pengalaman tentang sungai. Hasil dari ini akan saya tularkan ke anak didik saya.”

Namun, Kampoeng Sinaoe bukanlah tandingan lumpur Lapindo. Sebagai komunitas kecil, sebagian aktivitasnya adalah penghijauan, pengelolaan sampah, termasuk sampah-sampah yang ada di sungai kampung mereka, demikian ungkap Zamroni.

Berbeda dengan sungai saat Zamroni kecil dahulu, kini wajah dan perangai sungai di kampungnya memang telah berubah karena ulah manusia. Mandi di sungai bersama aneka spesies ikan pun telah menjadi kenangan. Dia berseru, “Sekarang wader dan belut sudah habis semua!”

Sampai hari ketiga, setidaknya Zamroni telah mendapatkan inspirasi yang kelak dibagikan ke warga kampungnya. Dalam kongres ini dia bisa berdiskusi dengan berbagai pelestari sungai kawakan dari penjuru Indonesia. “Saya banyak mendapatkan ilmu di sini,” ujarnya bersemangat. “Saya masih sangat miskin pengalaman tentang sungai. Hasil dari ini akan saya tularkan ke anak didik saya.”

Salah satu hal yang menginspirasi Zamroni adalah konsep permukiman di bantaran sungai yang mengutamakan prinsip “Mundur-Munggah-Madep”—lema dalam bahasa Jawa.

Peserta Kongres Sungai Indonesia 2015, yang digelar di tepian Sungai Serayu, tengah bersantai di depan bivak mereka. Acara ini digelar bersamaan dengan Festival Serayu pada 26-30 Agustus 2015. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Zamroni mengatakan, Mundur, artinya memberi jarak atau sempadan antara rumah dan sungai, sehingga turut merawat bantaran sungai dan tidak mempersempit aliran sungai. Munggah, tapak rumah tidak melebar, tetapi naik atau bertingkat sehingga tidak semakin banyak memakan lahan. Madep, artinya rumah seyogianya menghadap ke sungai karena rumah yang membelakangi sungai pasti memfungsikan sungai sebagai tempat pembuangan sampah. “Inilah hunian ideal di tepi sungai,” ungkapnya. “Sungai sebagai halaman depan rumah kita.”

JELANG SIANG, peserta kongres  berkumpul di bivak dapur umum untuk saling berbagi dalam sarasehan soal nasib sungai di Indonesia. Berbicara tentang karunia Tuhan, Indonesia memiliki 5.590 sungai dan 6.500 anak sungai yang mengular dari Sabang sampai Merauke. Salah satu pemangku kebijakan yang turut hadir adalah perwakilan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.