Nah, pertanyaannya sekarang, bagaimana para hyperglot dapat menguasai begitu banyak bahasa? Dan bisakah kita mencoba meniru mereka?
Jawaban singkat dari pertanyaan itu adalah motivasi. Seperti Keeley, sebagian besar insan hyperglot sangat termotivasi untuk mempelajari bahasa baru. Mereka gemar melancong dari satu negara ke negara lain sembari belajar bahasa setempat.
Namun, sekalipun berbekal motivasi besar, orang awam nyatanya kesulitan berbincang dalam bahasa asing secara meyakinkan. Keeley, yang kini menulis buku bertema ‘faktor sosial, psikologi, dan faktor menunjang lainnya untuk menjadi orang yang berbicara multi-bahasa’, skeptis bahwa kadar intelektualitas menentukan.
“Saya pikir itu bukan faktor utama, meskipun akan mempercepat jika memiliki kemampuan analitis,” ujarnya.!break!
Bunglon budaya
Alih-alih intelektualitas, Keeley menyarankan agar kita melihat ke dalam kepribadian masing-masing. Dia menilai mempelajari bahasa baru menyebabkan manusia menciptakan kepribadian baru. “Anda menjadi seperti bunglon,” katanya.
Seperti yang telah disuarakan para ahli psikologi, bahasa yang kita ucapkan lekat kaitannya dengan identitas. Pendapat yang mengatakan berbahasa Prancis membuat Anda romantis dan berbahasa Italia membuat Anda bersemangat, memang klise. Namun, nyatanya, setiap bahasa berhubungan dengan norma-norma budaya yang mempengaruhi perilaku. Beragam kajian membuktikan bahwa orang-orang yang berbicara multi-bahasa kerap memperlihatkan perilaku berbeda sesuai dengan bahasa yang mereka utarakan.
Bahasa yang berbeda juga dapat membangkitkan kenangan hidup yang berlainan pula, sebagaimana dialami penulis Vladimir Nabokov ketika menyusun otobiografinya. Penulis sohor asal Rusia itu memaparkan kisahnya dalam tulisan berbahasa Inggris dengan kesulitan. “Memori saya sudah disetel pada satu kunci, yaitu bahasa Rusia. Namun, dipaksa bermain pada kunci lain, yaitu bahasa Inggris,” ujarnya.
Ketika akhirnya otobiografi itu rampung, Nabokov memutuskan untuk menulis ulang kisah-kisah masa kecilnya dalam bahasa Rusia. Begitu bahasa itu mengalir, kenangannya terbuka dengan rincian dan perspektif baru.
“Tulisan versi bahasa Rusia yang dia kerjakan berbeda jauh sehingga dia merasa perlu menerjemahkan ulang ke bahasa Inggris,” kata Aneta Pavlenko, akademisi Universitas Temple di Philadelphia, AS, yang menulis buku berjudul The Bilingual Mind.
Apabila seseorang menolak proses penciptaan kepribadian baru, Keeley berpendapat orang itu bakal mengalami kesulitan mempelajari bahasa baru dengan lancar. Pendapat Keeley didasari oleh sebuah survei yang dia dilakukan terhadap orang-orang Cina yang mempelajari bahasa Jepang.
Keeley, yang merupakan seorang profesor bidang manajemen lintas budaya di Univesitas Kyushu Sangyo, Jepang, bertanya kepada para responden apakah mereka dapat berempati dengan orang lain? Lalu, apakah mereka bisa mengubah opini agar sesuai dengan orang di sekitar? Menurut Keeley, hasil survei itu menunjukkan orang yang berkepribadian luwes mampu berbahasa Jepang dengan lancar.
Bagaimana bisa? Sudah menjadi fakta umum ketika Anda cocok dengan seseorang, makin besar kemungkinan Anda akan menirunya. Nah, peniruan identitas dan memori yang terkait akan menghentikan tercampurnya bahasa yang baru dipelajari dan bahasa ibu.