Tana Toraja terletak di utara Kota Makassar dengan jarak sekitar 329 km. Merupakan salah satu ikon budaya Provinsi Sulawesi Selatan. Tana Toraja terkenal akan budayanya. Meskipun masyarakan Tana Toraja sudah memeluk agama, namun masyarakatnya masih memegang teguh adat-adat leluhurnya yang diturunkan secara turun menurun. Salah satunya adalah upacara kematian, yakni Rambu Solo.
Rambu Solo
Masyarakat Toraja menganggap orang yang meninggal adalah orang yang sakit ataupun lemah. Sehingga, orang yang meninggal diperlakukan layaknya orang yang masih hidup, seperti diberi makan dan minuman, diajak berbicara, dan dibaringkan di tempat tidur. Masyarakat Toraja menganggap orang yang benar-benar meninggal adalah orang-orang yang kematiannya diupacarakan.
Upacara kematian yang sering diadakan di Tana Toraja disebut Rambu Solo. Rambu Solo diadakan untuk menghormati yang meninggal dan mengantarkan arwahnya menuju alam roh. Masyarakat Tana Toraja percaya bahwa roh orang yang meninggal akan menuju ke Puya, tempat keabadian para leluhur di sebuah tempat peristirahatan. Masyarakat percaya Puya, yang terletak di bagian selatan tempat manusia tinggal adalah tempat peristirahatan dan keabadian para leluhur.
Arwah dan Rambu Solo
Masyarakat Tana Toraja percaya, bahwa arwah orang yang meninggal akan menjadi setengah dewa. Oleh sebab itu, prosesi Rambu Solo dianggap sangat penting oleh masyarakat Tana Toraja, karena prosesi Rambu Solo yang sempurna akan menentukan posisi arwah orang yang meninggal, apakah sebagai bombo (arwah gentayangan), to-membali puang (arwah yang mencapai tingkat dewa), atau deata (arwah yang menjadi dewa pelindung).
Prosesi Rambu Solo juga diadakan sebagai bentuk pengabdian dan penghormatan kepada orang yang telah meninggal.
Status Sosial
Status sosial keluarga yang meninggal dapat terlihat di prosesi Rambu Solo. Status sosial dapat dilihat dari jumlah hewan yang dikorbankan. Keluarga bangsawan biasanya menyembelih kerbau sebanyak 24 sampai 100 ekor. Keluarga yang golongan menengah hanya dapat menyembelih 8 ekor kerbau dan 50 ekor babi. Semakin banyak jumlah kerbau yang disembelih, status sosialnya semakin tinggi.
Rambu Solo dulu hanya dapat dilaksanakan oleh pihak keluarga bangsawan. Namun, seiring berkembangnya zaman, keturunan dan kedudukan bukanlah sebagai patokan strata sosial di masyarakat Tana Toraja. Yang kini menjadi patokan strata sosial seseorang adalah pendidikan dan kemampuan ekonomi. Oleh sebab itu, kini masyarakat Tana Toraja sudah banyak yang dapat menggelar prosesi Rambu Solo.
Puncak Acara
Rante merupakan puncak prosesi Rambu Solo. Rante dilaksanakan di lapangan khusus yang telah disiapkan. Rante selalu menarik perhatian wisatawan yang datang, karena dalam Rante terdapat rangkaian ritual. Ritual-ritual yang terdapat di upacara Rante adalah proses pembunguksan jenazah (mabalun, ma’tudan), pembubuhan ornamen-ornamen yang terbuat dari emas dan perak pada peti jenazah (ma’roto), pemindahan dan penurunan peti jenazah dari tongkonan ke La’ Kian (ma’popengkalo alang), dan proses membawa peti jenazah ke tempat peristirahatan terakhir (ma’palao).
Ada pula beberapa atraksi budaya yang selalu ada di Rante, yakni adu kerbau (mappasilaga tedong atau tedong silaga), kerbau-kerbau yang akan disembelih harus diadu terlebih dahulu. Kerbau yang akan disembelih atau biasa disebut ma’ tinggoro tedong adalah kerbau-kerbau yang harus terpilih, bukan kerbau biasa. Biasanya masyarakat Tana Toraja memilih tedong bonga (kerbau bule). Harga tedong bonga tidaklah murah. Satu ekor tedong bonga harganya mencapai 10-50 juta perekor.