Pada pukul 5 pagi dan 6 sore, pengeras suara pemerintah bergema keras di seluruh Vietnam. Sebagai peninggalan dari era sebelum rumah memiliki televisi dan radio, sistem penyiaran kepada masyarakat ini – baik itu berupa berita, propaganda atau prakiraan cuaca – biasanya tak bisa terdengar di negara modern ini karena adanya campuran deru motor, klakson dari mobil dan truk serta pembangunan.
Namun di Con Son, berita terdengar lantang dan jelas di kota kecil yang berpenduduk 5.000 orang dengan dua lampu lalu lintas dan satu tempat berjalan-jalan di tepi pantai itu. Mengunjungi pulau terbesar di gugus kepulauan Con Dao – yang terdiri atas 16 pulau indah yang kebanyakan tak berpenghuni di Laut Cina Selatan – seperti kembali ke masa lalu.
Meskipun hanya berjarak 45 menit terbang dengan turboprop dari Ho Chi Minh City, pulau surga Con Son sangat berbeda jauh dari jalur yang paling banyak dilalui turis di Vietnam. Tempat ini tampaknya luput dari perhatian dan tidak tersentuh pembangunan berlebihan seperti yang terjadi di kota resor utama seperti Nha Trang dan pantai-pantai tempat berpesta di Phu Quoc. Di sini tidak ada penjual apa pun, hanya pantai kosong yang tenang, dan dalam musim libur itu artinya hanya sepuluhan wisatawan Barat.
Namun, tempat ini tidak akan seperti ini selamanya. Resor pertama di pulau ini, Six Senses Con Dao yang super mewah, dibuka di Teluk Dat Doc di pantai timur pulau itu pada tahun 2010, dan sebuah resor super besar kini sedang dibangun di sebelah selatan. Selain itu juga ada perundingan untuk dibukanya tempat retret spiritual yang didukung Italia, serta kabar-kabar burung mengenai perluasan jalur terbang bandar udara di pulau itu agar pesawat lebih besar dapat mendarat.
Namun untuk saat ini, sebagian besar pengunjung adalah orang Vietnam yang datang untuk mengenang masa lalu kelam pulau itu. Dikenal sebagai Pulau Setan Asia Tenggara, Con Son dahulu merupakan koloni para narapidana yang menyaksikan kebrutalan dan kekejaman penjajah Prancis dan kemudian Perang Vietnam.
Orang Prancis mempekerjakan 914 pria sampai mati untuk membangun dermaga pulau itu, sementara tahanan pada masa Perang Vietnam dikurung dalam “kandang harimau" yang tersohor, di mana para tahanan – baik mereka yang benar merupakan komunis ataupun diduga komunis – diborgol ke lantai lubang semen dengan jeruji besi sebagai atap mereka.
Dinding-dinding utama penjara masih berdiri tegak sebagai pengingat terus-menerus akan masa lampau, dan penjara serta kuburan kini menjadi tempat ziarah untuk mengenang ribuan warga Vietnam yang menderita dan meninggal di pulau itu antara tahun 1862 dan 1975.
Walaupun kenangan menyeramkan masih terus membayangi, kehidupan modern di pulau itu tenang dan santai. Latar belakang bukit hijau terjal di Con Son bercampur dengan air laut hangat biru dan terumbu karang. Pepohonan berdaun cerah dan bunga kertas menambah ceria warna hutan rimba, dan pohon kamboja serta magnolia berbaris di jalan-jalan lebar yang sepi.
Satu-satunya jalan utama melintasi setengah pulau itu; berkeliling di sepanjang pantai dengan sepeda motor membawa kita ke kolam-kolam yang dipenuhi bungai teratai, tebing merah jingga yang menakjubkan dan pantai pasir putih yang sepi. Laut di sana tenang, bersih dan cocok untuk berenang sepanjang tahun.
Rutinitas sehari-hari di pulau itu dimulai di pasar yang hiruk pikuk, tempat cumi-cumi, kepiting, kerang, rambutan, pisang, mangga, buah naga dan bunga teratai ditumpuk untuk dijual di luar.
Di dalam pasar, para serdadu muda dengan seragam hijau lumut duduk di kursi plastik di warung-warung, menikmati sarapan pagi yang terdiri dari bun rieu (mi kepiting kuah) atau bun thit nuong (babi panggang dengan bihun) sementara sinar matahari menyinari pintu masuk. Pada pukul 9 pagi, semua makanan sudah habis terjual dan pada siang hari pasar itu sudah sepi.!break!
Lalu, tak ada apa-apa lagi sampai pukul 2 siang, ketika penjaja makanan sore berdatangan, menjual roti berisikan babi panggang, air tebu dan lumpia. Selama dua jam, perempuan kepala kantor pos pulang ke rumah, pasar menjadi kosong, pulau itu tidur siang dan matahari menyengat membakar laut biru. Tak ada yang bisa dilakukan kecuali berenang di salah satu pantai indah; tidak peduli ke mana pun Anda pergi, pantai itu pasti hanya untuk Anda sendiri.
Jika ini adalah di pulau utama, maka Anda akan dapat menjumpai kapal pesiar yang beroperasi jangka pendek yang menyediakan minuman di sekitar pelabuhan. Jika Anda ingin melihat kepulauan itu dari Con Dao, cobalah bertanya di sekitar senja hari dan Anda akan bisa menumpang perahu nelayan keesokan paginya.
Perlahan-lahan meninggalkan pelabuhan dengan perahu butut yang diwarnai cerah biru dan oranye, sang nelayan akan membawa Anda menuju teluk dan karang di sekitar pulau-pulau kecil. alat selam sederhana dan kacamata renang cukup memadai untuk melihat penyu, dan menyelam merupakan salah satu yang terkenal paling asyik dilakukan di Vietnam.
Ketika matahari mulai turun, banyak pelancong memilih untuk menjelajahi pulau itu dengan sepeda motor.
Di teluk An Hai, 1km dari selatan kota Con Son, para penyelam mutiara dan nelayan merapatkan kapal mereka, dengan menjaga agar perahu berbentuk bulat terbuat dari bambu, yang menjadi kedap air karena menggunakan damar palem kelapa dan dapat digerakkan menggunakan dayung - tetap berlabuh untuk digunakan sebagai sampan.
Untuk 6 kilometer berikutnya, panjatlah jalan di sepanjang teluk sampai tiba di ujung paling selatan pulau itu. Di sana kita dapat memandang ke semua arah. Kepulauan itu terbentang ke arah timur; pelabuhan dan kota Con Son ke arah utara; bagian dalam pulau yang terjal dan berkarang ke arah barat.
Menyelusuri tebing, jalan berkelok melalui teluk yang jernih bagaikan kristal dan bermuara di permata pulau itu, yaitu dataran lebar pantai Nhat. Di sini gunung melatari pantai pasir putih yang sepi yang membentang ratusan meter dari pantai saat air surut, dengan air hangat setinggi pinggang mengairi ratusan meter lainnya. Tinggallah di sana sampai senja turun ketika cakrawala berkelip-kelip dengan kapal kontainer yang menutupi laut Cina Selatan yang sibuk.
Ketika senja tiba, jalan sepanjang pantai kota Con Son menjadi pusat kegiatan sosial. Langit berubah menjadi merah muda dan gerobak penjual menjajakan jagung bakar, santai ayam dan babi. Perenang – kebanyakan merupakan wisatawan Vietnam yang tidak mau ke pantai pada siang hari – tiba untuk berenang saat matahari tenggelam. Wilayah pantai menjadi sesak dengan manusia.
Di seberang pantai, rumah-rumah peninggalan kolonial Prancis rusak dan terabaikan; halaman mereka yang perlahan-lahan menjadi hutan mendominasi. Komponis Prancis Camille Saint-Saens pernah tinggal di salah satu rumah itu pada waktu ia menyelesaikan karyanya opera Brunhilda tahun 1895. Dewasa ini, rumah itu menjadi kafe Con Son yang populer, yang menyediakan: bir, es krim dan kopi Vietnam.
Pada malam hari, sebuah pasar yang berbeda buka di Tran Huy Lieu, dua blok ke sebelah Timur. Setengah jalan dipenuhi dengan kursi dan meja lipat besi; bir mengalir pada saat warung-warung memanggang kerang-kerangan, cumi dan tangkapan lain yang didapatkan hari itu. Ini merupakan cara yang asyik untuk mengakhiri hari – hanya saja memikirkan harus kembali ke pulau utama sangatlah mengganggu.