Ku Antar Kau Menuju Keabadian

By , Senin, 19 Oktober 2015 | 16:00 WIB

Masyarakat Dayak Gerunggang di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, meyakini arwah nenek moyang yang telah meninggal belum sampai ke surga atau yang mereka sebut sebayan tujoh seruge dalam.

Bahkan, ada yang tersesat. Maka, mereka perlu diantar menuju alam keabadian melalui ritual yang disebut Nganjan.

Enam belas tahun sudah Cenaga Bindang bersama istrinya, Gorai, dan Mas Kaye Gemale Iyang bersama istrinya, Janah, meninggal. Semasa hidup, peran mereka sangat besar baik terhadap keluarga maupun terhadap kampung halaman.

Mereka dicintai anak-anak dan para kerabat. Rasa cinta itulah yang membuat sanak keluarganya, yakni Angkot (45) dan Manto (40), mengadakan Nganjan.

Hari Kamis (10/9/2015) pagi, di pedalaman, yakni Dusun Kampung Baru, Desa Batu Mas, para pemuka adat, antara lain ketua adat, dukun Nganjan, dan sanak keluarga tuan rumah acara Nganjan, mengawali ritual dengan menebang sebatang bambu di dalam hutan.

Bambu setinggi satu meter itu akan dijadikan tempat berbagai persembahan yang disebut jarau. Jarau, bentuknya menyerupai batang pinang dalam acara panjat pinang.

Jarau yang disiapkan tuan rumah disebut jarau pemali. Jarau isinya berbagai makanan dan kebutuhan perabot rumah tangga, dan disusun di kayu yang dipasang melingkar di puncak bambu.

Setelah dipasang, sesajian lain digelar di tengah rumah, antara lain daging, tuak, dan dedaunan. Musik tradisional setempat, antara lain gong dan kelintang yang dimainkan secara bersamaan, mulai dimainkan sebagai pertanda bahwa acara Nganjan telah dimulai. Pemukulan musik pertama kali dipimpin dukun.

Setelah itu, alat musik tradisional dan sesajian, termasuk jarau, dibawa ke halaman rumah. Hal itu dilakukan karena ritual Nganjan banyak dilaksanakan di luar rumah sebab mengundang masyarakat dari beberapa wilayah.

Beranjak sore, ratusan tamu dari beberapa wilayah berdatangan dengan membawa jarau sebagai sumbangan kepada tuan rumah. Jarau-jarau itu dipajang di halaman tempat ritual Nganjan digelar. Memasuki malam hari, pengunjung dan tamu pun memadati lokasi ritual Nganjan digelar.!break!

MenariPada malam hari, tamu-tamu kehormatan, baik ketua adat dari daerah lain maupun pejabat di pemerintahan, satu per satu menari mengelilingi tambak. Tambak adalah semacam kotak dengan hiasan ukuran terbuat dari kayu ulin yang pada akhir acara akan disimpan di makam leluhur.

Penari terdiri dari laki-laki dan perempuan menggunakan pakaian adat Dayak. Khusus laki-laki, selain menggunakan pakaian Dayak, juga menggunakan mandau, senjata tradisional suku Dayak. Demikian seterusnya secara bergiliran. Setelah selesai menari, mereka minum tuak dengan menggunakan tanduk, biasanya tanduk kerbau.

Ratusan pengunjung juga menari mengelilingi tambak sembari menyanyi dan berpantun diiringi musik tradisional. Tarian yang dilakukan pengunjung disebut bedansai. Tarian itu memberikan suasana gembira.

Meskipun ritual itu identik dengan ritual kematian, ada unsur kegembiraannya karena arwah yang menuju sebayan tujoh seruge dalam itu diyakini akan mendapatkan kebahagiaan yang kekal. Ritual itu dilaksanakan sampai pagi.

Bahkan, pada hari kedua ritual yang sama kembali dilanjutkan. Namun, yang menari berbeda-beda. Kamis malam, adalah malam terakhir ritual tersebut. Bedansai (menari) tetap dilaksanakan.

Pada malam terakhir, ditutup dengan menebang jarau. Sesajian di atasnya dibagikan kepada undangan sebagai simbol memberi penghormatan kepada tamu. Selain itu, memindahkan tambak yang semua dikelilingi penari ke makam tepat pada pukul 00.00 WIB.!break!

Tiga jenisOndeh (60), Ketua Adat Kampung Baru, menuturkan, Nganjan ada tiga jenis. Pertama, Nganjan Tambak. Jenis Nganjan itu hanya memperbarui makam dengan menambahkan tambak pada makam.

”Untuk yang kali ini juga dilaksanakan Nganjan Tambak, karena menghemat biaya di tengah lesunya ekonomi masyarakat saat ini. Nganjan Tambak hanya dilaksanakan dua hari dua malam,” kata Ondeh.

Jenis kedua disebut Nganjan Nyandong. Hal itu dilakukan dengan menggali tulang belulang di makam leluhur. Tulang belulang itu disimpan di dalam rumah kecil yang diberi tiang dengan ketinggian dua meter.

”Ritual itu mahal. Tidak semua warga bisa menggelar ritual jenis itu. Adatnya pun lebih rumit. Nganjan Nyandong itu tiga hari tiga malam,” ucap Ondeh.

Dalam Nganjan Nyandong, penari menggendong tengkorak kepala leluhur yang digali dari makam. Namun, dalam Nganjan Tambak karena tidak dengan menggali tulang, kepala disimbolkan dengan kelapa yang digendong penari menggunakan kain.

Jenis ketiga adalah Nganjan sebelum memakamkan orang. Nganjan jenis ini dilaksanakan saat ada warga yang meninggal. Namun, tidak sebesar acara Nganjan Tambak dan Nyandong. Nganjan sebelum pemakaman hanya beberapa jam.

Albertus Inson (69), Ketua Adat Desa Batu Mas, menambahkan, dahulu, Nganjan hanya dilakukan orang keturunan ketua adat yang disebut domong. Namun, seiring perkembangan zaman, semua boleh melaksanakannya karena kemampuan ekonomi yang semakin berkembang.

”Nganjan pun dalam perkembangannya tidak selalu untuk ritual kematian, tetapi untuk memeriahkan acara. Bahkan, di kalangan muda Nganjan untuk menyambut tahun baru, tetapi harus dengan dispensasi ketua adat,” kata Inson.

Perlunya dispensasi ketua adat agar ia memberi tahu leluhur bahwa Nganjan dalam konteks malam tahun baru hanya untuk kegembiraan menyambut tahun baru atau dalam acara lain, bukan dalam konteks ritual kematian.

”Dispensasi itu juga dibuat agar generasi muda dekat dengan adat istiadat yang menjadi jati diri mereka,” katanya.!break!

Basis ”kaharingan”Jhon Bamba, Ketua Perkumpulan Institut Dayakologi Kalimantan Barat, menuturkan, masyarakat Dayak Gerunggang masih satu rumpun dengan Dayak di Kalimantan Tengah. Tradisi yang tumbuh di masyarakat Kalimantan Tengah berbasis kaharingan.

Pengaruh tradisi itu sampai ke daerah Dayak Gerunggang di Kalimantan Barat yang diadopsi dalam ritual Nganjan. Daerah itu berbatasan dengan Kalimantan Tengah.

”Nganjan ibarat penguburan kedua, sama seperti Tiwah di Kalimantan Tengah. Nganjan merupakan spiritualitas masyarakat Dayak Gerunggang, tentang adanya kehidupan setelah kematian. Jiwa nenek moyang yang meninggal diyakini ada yang belum sampai ke sebayan tujuh surga dalam,” kata Jhon.

Dalam konteks kekinian, Dayak secara umum termasuk Dayak Gerunggang mengalami perubahan yang cukup besar. Ada berbagai pilihan hidup yang membuat mereka lebih bertransformasi menjadi masyarakat modern daripada masyarakat adat. Ada yang menggeluti berbagai profesi sehingga tradisi Nganjan di ambang kepunahan.